MEMBIMBING dan mengajarkan anak menjadi yang terbaik memang sudah menjadi tugas orangtua. Namun, ada kalanya orangtua harus membiarkan anak menemukan jati dirinya sendiri tanpa harus memaksa. Hingga saat ini masih ada orangtua, baik ibu maupun ayah yang menerapkan pendidikan kepada anak layaknya atasan dan bawahan.
Ada ini sebuah kisah yang perlu menjadi pembelajaran bagi orangtua yang masih menerapkan pola asuh tersebut. Berikut ini kisahnya, disampaikan dalam buku Parenting with Heart: Menumbuhkan Anak dengan Hati yang tulis oleh Alia Daryati dan Anna Farida:
Saya pernah menjumpai anak yang sangat cantik sebut, saja namanya Erika kelas 1 SMP. Dari penampilannya terlihat bahwa dia terurus dengan baik. Saya selalu beranggapan Erika baik-baik saja hingga suatu kali wali kelasnya datang kepada saya untuk minta bantuan.
Baca Juga: Waktunya Orangtua Belajar, Kenali 10 Kesalahan Orangtua dalam Mendidik Anak
Anak Bukan Bawahan Orangtua, Biarkan Anak Menemukan Jati Dirinya Sendiri
“Bu tolong tenangkan Erika. dia menangis lagi.”
“Kenapa?”
“Katanya gara-gara bajunya kotor. Dia juga tidak mau ikut olahraga karena lapangan kitakan dari tanah dia tidak mau pakai sepatu kotor.”
Saya menghela nafas. Mengapa Erika tidak suka kotor sampai seekstrim begitu?
Ketika sampai di kelasnya saya lihat gadis remaja itu sedang menangis dan nyaris panik. Rupanya dia keasyikan membaca sambil memainkan spidol lalu secara tidak sengaja lengan bajunya tercoret.
Saya genggam tangannya dan dia menangis lebih keras.
“Apa yang bikin kamu cumas Erika,” tanya saya perlahan.
“Baju saya kotor Bu. Saya harus selalu terampil rapi tidak boleh kotor, tidak boleh kusut.”
Dan dia menangis lagi. Kali ini lebih lama karena sudah mau mulai jam istirahat dan sebentar lagi kelas akan ramai. Saya ajak dia ke kantor. Erika tampaknya sedang tidak ingin diajak bicara, jadi saya biarkan saja dia menenangkan diri sampai akhirnya bisa kembali ke kelas.
Dua hari kemudian ibunya datang menemui saya dengan wajah cemas. Entah kenapa, di zaman ini masih ada kesan kuat bahwa kalau orangtua dipanggil ke sekolah berarti anaknya dalam masalah.
Saya hampir selalu harus menghilangkan kesan itu, agar bisa berbincang secara terbuka dan nyaman dengan orangtua.
Dari penampilannya yang sangat rapi, saya menduga standar kerapian dan kebersihan Erika berasal dari ibunya.
“Saya memang mengajarkan Erika agar selalu bersih dan rapi. Standar saya sederhana, baju tidak boleh kusut atau kotor, rambut selalu rapi. Di rumah, saya menyediakan cairan pencuci tangan di setiap ruangan.
Kebersihan dan kerapian kan tidak bisa diajarkan secara instan, Bu. Saya memahami pentingnya kebersihan dan kerapian juga karena didikan orangtua saya sejak kecil…”
“Pernah enggak Ibu bertanya ke Erika, apakah dia merasa repot dengan ketentuan yang ibu tetapkan:?” tanya saya.
“Awalnya saya ngerepot, Bu. Saya terus memantau apakah dia sudah cuci tangan, menyeka keringat dengan tisu basah dan merapikan bajunya. Lama-lama, dia juga paham.”
“Menurut Ibu apa yang Erika pahami soal kebersihan?”
“Aduh zaman sekarang penyakit mudah sekali menyerang, Bu. Karena itu saya selalu ajarkan pentingnya kebersihan dan kerapian. Daripada anak saya sakit mending saya jaga-jaga deh.”
“Sebentar. Yang ingin saya tanyakan adalah pemahaman Erika sendiri. Apakah ibu tahu?”
“Anak seumur itu kadang belum paham, Bu. Apa yang saya lakukan toh demi kebaikannya. Dengan standar kebersihan yang kami terapkan dia akan selalu sehat dan tampil rapi. Nanti kalau sudah lebih besar dia akan paham sendiri.”
Dengan pengasuhan, tiap-tiap orangtua memiliki Standard Operating Prosedure (SOP) yang mesti dijalankan. Namun, anak-anak bukanlah bawahan dan kita bukan atasan mereka yang memantau kualitas kerja berdasarkan SOP saja.
Kita adalah pembimbing mereka. Pengasuhan tidak menghasilkan miniatur orangtuanya melainkan anak-anak yang menemukan jati dirinya dengan bimbingan yang benar dari kita. [Ln]