TULISAN berikut ini merupakan kelanjutan dari artikel Inspirasi Mendidik Anak seperti Nabi yang dijelaskan oleh Penggiat dan Motivator Parenting, Rumah Pintar Aisha, Randy Insyaha.
baca juga: 7 Inspirasi Mendidik Anak seperti Nabi (Bagian 1)
7 Inspirasi Mendidik Anak seperti Nabi (Bagian 2)
5. Adil
“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. Al-Baihaqi).
Dari An-Nu’man (bin Basyir), beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Ibu saya meminta hibah kepada ayah, lalu memberikannya kepada saya.
Ibu berkata, ‘Saya tidak rela sampai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi saksi atas hibah ini.’
Maka ayah membawa saya –saat saya masih kecil- kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
‘Wahai Rasûlullâh, ibunda anak ini, ‘Amrah binti Rawahah memintakan hibah untuk si anak dan ingin engkau menjadi saksi atas hibah.’
Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Basyir, apakah engkau punya anak selain dia?’ ‘Ya.’, jawab ayah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Engkau juga memberikan hibah yang sama kepada anak yang lain?’ Ayah menjawab tidak.
Maka Rasûlullâh berkata, ‘Kalau begitu, jangan jadikan saya sebagai saksi, karena saya tidak bersaksi atas kezhaliman.’ “ (HR. al-Bukhâri).
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu.” (HR. Bukhari)
Ketidakadilan orang tua kepada anak adalah bom waktu. Bom waktu bagi orang tuanya dan juga bom waktu bagi anak-anaknya.
Bagi orang tua, anak yang merasa diperlakukan tidak adil, mereka akan enggan berbakti kepada kedua orang tuanya. Rasa kasih sayang dan cintanya luntur. Mereka tidak akan peduli dengan orang tuanya.
Mereka merasa tidak disayangi, tidak dicintai, dibedakan, dianaktirikan. Mereka tidak akan peduli lagi kepada orang tuanya.
Lalu tujuan menjadikan anak yang sholeh, yang mendoakan kedua orang tuanya, yang berbakti dan menyayangi kedua orang tuanya, yang memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya tidak akan terwujud.
Inilah dampak dari ketidakadilan orang tua kepada anak-anaknya.
Lalu bom waktu yang kedua adalah antar anak-anaknya. Anak yang diperlakukan tidak adil akan merasa benci, dendam, iri kepada saudaranya.
Dampaknya, anak-anak ini akan saling bermusuhan. Hingga dewasa pun mereka akan saling bermusuhan satu dengan yang lain.
Sampai saat mereka sudah berkeluarga tetap tak berhenti permusuhannya hingga merembet ke anak dan cucu. Apakah seperti ini keluarga yang berkah itu. Antar saudara saling memutus tali silaturahmi.
Kalau sudah begini, mungkinkan mimpi kita masuk surga sekeluarga, ada ayah, bunda, anak-anak bisa diwujudkan.
Ketidakadilan itu melahirkan kebencian anak kepada orang tuanya dan kebencian anak kepada saudaranya.
6. Membantunya untuk taat
“Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya untuk berbakti kepada mereka.” (HR.Ibnu Hibban).
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah senantiasa memberi rahmat pada orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya.”
Orang-orang di sekeliling Beliau bertanya, “Bagaimana cara orang tua membantu anaknya berbakti, ya Rasulullah?”
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ”Mereka menerima yang sedikit dari anaknya, memaafkan yang menyulitkannya, tidak membebani anaknya, dan tidak memaki anaknya.”
Ajarilah, permudahlah, dan jangan persulit! Gembirakanlah, dan jangan takut-takuti!
“Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah berdiam diri”. (H.R. Ahmad dan Bukhari)
Menerima yang sedikit itu misalnya hasil ujian anak nilainya 70. Kita terima nilai 70 itu, meskipun kita ingin nilai anak misalnya 100 atau 90.
Atau dalam pikiran kita aduuh soal mudah gini kok cuma dapat 70. Nggak apa-apa, diterima dulu, disyukuri dulu katakan kepada anak “Alhamdulillah nak, dapat nilai 70, ini bagus banget, insha Allah ujian selanjutnya Bunda yakin, kakak akan mendapatkan nilai 100”.
Jadi ketika anak belum sesuai target diterima saja dulu. Bikin ia senang dan beri motivasi agar lebih semangat mencapai target yang lebih tinggi lagi.
Jadi kita terima hasil nilai 70 itu agar potensinya muncul sehingga mampu meraih nilai 100. Terima yang ada dulu agar kekuatan potensinya semakin muncul.
Jangan sampai anak mendapatkan nilai 70 lalu dicela, dimarahi, diremehkan, direndahkan nanti anak tidak lagi percaya diri, rendah diri, merasa tidak mampu. Lalu bagaimana potensi yang sebenarnya itu bisa muncul.
Memaafkan yang menyulitkannya misalnya hafalan Al Qur’an. Biasanya setiap hafalan anak bisa menghafal minimal 3 baris.
Tapi entah kenapa, kali ini kok susah banget ya, hingga membuat jengkel orang tua. Jadi kita perlu memaafkan anak saat sedang sulit. Maafkan saja.
Katakan “baik Nak, sementara cukup dulu ya, besok kita ulang, sekarang kamu main dulu sana”. Jadi enggak perlu marah karena tidak sesuai target.
Maafkan saja mungkin karena lagi badmood, mikirin pelajaran yang lain, mikirin kejadian di sekolah dll.
Nabi sendiri tidak membebani sahabatnya itu sama, setiap sahabat punya kelebihannya masing-masing. Nabi membebani sahabat sesuai dengan kelebihannya masing-masing.
Misalnya beban Khalid, Umar, Abu Hurairah, Bilal, itu jelas berbeda. Disesuaikan dengan kelebihannya masing-masing. Khalid diberi beban untuk menjadi komandan perang pasukan muslim.
Abu Hurairah diberi tugas untuk menghafalkan setiap hadits. Bilal dengan suaranya yang merdu dan indah diberi tugas sebagai muadzin.
Umar dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya digadangkan sebagai Khalifah.
Maka jika misal anak lemah pada satu sisi jangan dibebani terlalu berat. Jika anak misalnya lemah di bidang Matematika, jangan dipaksa terus belajar Matematika sehingga menjadi beban.
Cukup semampunya saja, atau minimal jadikan anak menjadi rata-rata di pelajaran matematika tetapi jadikan anak yang terbaik di bidang yang menjadi kelebihan anak.
Anak masih memiliki kebiasaan buruk, terima dulu. Bukan berarti diabaikan atau dibiarkan. Diterima itu artinya ridho dulu dengan kondisi anak karena sudah menjadi takdir-Nya.
Lalu pelan-pelan kita lakukan perbaikan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Raulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: Semoga Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya berbakti kepadanya.
Juga, diriwayatkan oleh ath-Thabarani dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
Bantulah anak-anak kalian untuk berbakti. Barang siapa yang menghendaki, dia dapat mengeluarkan sifat durhaka dari anaknya.
7. Menunaikan hak anak
Hati-hati dengan hak anak. Misal anak membawa roti dari sekolah. Kebetulan temannya ulang tahun. Kita meskipun orang tuanya tidak serta merta langsung memakan roti milik anak.
Roti itu milik anak, jika kita ingin memakannya, kita harus meminta izin terlebih dahulu. Termasuk menghargai anak adalah menghargai juga hak anak.
Jangan salah, kita seringkali menghargai anak orang lain tetapi tidak menghargai anak sendiri.
Misal kita meminta anak untuk meminjamkan mainan kepada temannya. Anak kita tidak mau eh anak sendiri malah dimarahi, hanya gara-gara anak tidak mau meminjamkan mainannya.
Jadi hargai keputusan anak. Mainan itu adalah miliknya, jika anak tidak mau meminjamkan ya kita harus menghargainya. Katakan kepada anak teman kita dengan bahasa yang baik.
Misalnya lagi, anak kita punya makanan pemberian dari temannya, adiknya minta tetapi kakaknya ini tidak mau berbagi.
Orang tua tidak boleh memaksa karena makanan ini miliknya. Orang tua boleh membujuk tetapi tidak boleh memaksa. Hargai kepemilikannya.
Lalu Ayah, Bunda bertanya kan anak harus diajari untuk berbagi. Ya betul anak harus diajari untuk berbagi tetapi bukan sekarang kan, bukan saat itu juga kan.
Insha Allah, di waktu yang lain kita memahamkan dan mengajari anak untuk berbagi. Heh, ayo kakak mengalah, kasihkan mainan ke adik, padahal mainan itu punya kakak.
Ayo kakak harus berbagi sama adik, ayo cepat bagi sama adik, padahal punya kakak. Kalau adiknya menangis ya enggak apa-apa. Adik harus belajar juga untuk tidak memaksakan keinginannya.[ind]