MISI dakwah itu bukan untuk satu generasi. Dakwah harus bergulir dari generasi ke generasi.
Di generasi awal dakwah, di masa generasi sahabat, ada kegelisahan ketika Yahudi Madinah membuat isu. Isunya: kaum muhajirin tak akan bisa punya anak karena telah disihir dukun Yahudi.
Jadi, meskipun para sahabat yang berasal dari Mekah selamat tiba di Madinah, mereka tak akan bisa punya keturunan yang akan lahir di Madinah.
Ternyata, isu ini terbantahkan hanya dalam hitungan bulan. Ada bayi dari ayah dan ibu muhajirin lahir di Madinah. Peristiwa kelahirannya di awal tahun kedua hijriyah.
Siapakah bayi itu, dan siapa pula ayah ibunya?
Bayi itu bernama Abdullah. Ayahnya bernama Zubair bin Al-Awwam. Ibunya bernama Asma binti Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhum.
Zubair itu putera dari Shafiyah binti Abdul Muthalib atau punya hubungan sepupu dengan Rasulullah. Sementara ayahnya, Al-Awwam adalah kakak dari istri Rasulullah: Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
Dan sang ibu yaitu Asma binti Abu Bakar adalah kakak dari istri Rasulullah: Aisyah binti Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma. Semua tali kekeluargaan Abdullah bin Zubair bertemu dengan sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Abdullah lahir di perjalanan hijrah ayah ibunya menuju Madinah. Ia lahir di Quba, sebuah wilayah yang berbatasan dengan Madinah masa itu.
Semua kaum muslimin bergembira dengan kabar kelahiran Abdullah. Sebuah generasi baru terlahir di bumi tempat hijrah.
Sang ibu membawa bayi Abdullah kepada Rasulullah untuk didoakan. Abdullah kemudian didoakan Rasulullah dan ditahnik, yaitu mengoleskan dinding rongga mulut bayi dengan kunyahan kurma oleh Rasulullah.
Abdullah pun tumbuh besar sesuai desain dua aktivis dakwah yang begitu dekat dengan Rasulullah: Zubair dan Asma.
Di usia anak-anak, Abdullah sudah begitu tekun beribadah, menghafal Al-Qur’an, dan dekat dengan Rasulullah. Sekitar tiga puluhan hadis diriwayatkan melalui Abdullah bin Zubair.
Pernah suatu kali, setelah Rasulullah wafat, Ka’bah mengalami banjir. Tinggi banjir sekitar dua meter. Tak ada orang yang melaksanakan thawaf.
Namun tidak begitu dengan Abdullah bin Zubair. Di usianya yang masih belia, ia tetap thawaf mengelilingi Ka’bah meski dalam keadaan banjir. Ia tidak melakukan thawaf dengan berlari kecil. Melainkan dengan berenang.
Soal kepiawaian dan keberanian jihadnya tak perlu diragukan. Abdullah menjadi tokoh kemenangan penaklukan Islam di Afrika. Di usianya yang baru 17 tahun, ia berhasil membunuh panglima perang musuh sendirian dengan menerobos pengawalan yang ketat.
Abdullah bin Zubair juga pernah menjabat sebagai khalifah ketika khalifah Yazid bin Muawiyah wafat dan tidak ada penerus setelahnya. Namun kekhalifahan itu berhasil direbut kembali oleh keturunan Muawiyah yang lain.
**
Sebuah bencana ketika dakwah mentok di sebuah generasi orang tua. Generasi anak muda setelahnya seperti antitesa misi orang tua mereka.
Dakwah seperti hanya ada di zaman old dan mandeg di zaman now. Tak ada regenerasi. Bahkan seperti bertolak belakang.
Boleh jadi, ini terjadi karena dakwah hanya sebatas narasi di ruang-ruang formal. Sementara di dunia nyata, khususnya di rumah-rumah para duat, dakwah seperti fenomena daun talas yang disiram air.
Dakwah harus dimulai dari rumah-rumah kita. Insya Allah, dakwah akan semarak di masyarakat kita.
Jangan ke masjid sendiri. Jangan ke majelis taklim sendirian. Ajak anak, ponakan, dan cucu. Biasakan mereka memegang tongkat estafet dakwah berikutnya. [Mh]