ChanelMuslim.com–Salah satu tradisi di Indonesia dari dahulu kala hingga saat ini yang masih bertahan ialah metode pengajaran agama Islam, yang kini dikenal dengan istilah pesantren.
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren.
Dalam catatan Howard M. Federspiel salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar. Tentunya, alasan mendasar kehadiran pesantren ialah untuk mentransmisikan Islam tradisional yang terdapat di kitab-kitab klasik yang kebanyakan ditulis di abad pertengahan (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 2015).
Pemikiran sufistik Al-Ghazali yang mementingkan laku (akhlak) menjadi mainstream utama orientasi pendidikan Islam. Karakteristik besar yang membedakan lembaga pendidikan di luar pesantren dan yang ada di pesantren adalah perilaku santrinya. Baik akhlak terhadap sesama santri, kiai dan masyarakat pada umumnya. Keberhasilan pesantren dalam mencetak para ulama yang diakui masyarakat dan berdedikasi tinggi menyebabkan lembaga ini memegang posisi yang dominan di masyarakat. Keberhasilan para kiai dalam menelurkan ulama dengan kualitas tinggi merupakan keberhasilan metode yang digunakan para kiai (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 1985).
Hasil pendidikan Islam di pesantren menempati posisi yang sentral di masyarakat Jawa. Produknya pun beragam, ada yang ahli dalam bidang dakwah, intelektual, dan yang paling banyak dihormati dan disegani adalah karena mereka yang memiliki kharisma spiritual dan akhlak yang mulia. Pada dasarnya, tujuan didirikannya pesantren yaitu untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian seorang muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat (Syamsul Maarif, Pesantren Vs Kapitalisme Sekolah, 2008).
Pesantren pada umumnya percaya, tujuan pendidikan tidak untuk memperkaya pikiran murid dengan berbagai penjelasan, melainkan memperkuat moral, melatih dan mempertinggi semangat, menjaga dan menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk kepentingan duniawi, tetapi untuk kepentingan kewajiban sebagai manusia dan pengabdian kepada Tuhan. Ini memiliki implikasi bahwa pesantren memiliki cita-cita kemandirian untuk tidak menggantungkan sesuatu kecuali hanya kepada Tuhan (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 1985).
Cita-cita dan tujuan tentang penghambaan kepada Tuhan inilah yang membuat karakter kemandirian bagi seorang santri. Bagi seorang santri, hanya Tuhan yang menjadi tujuan hidup di dunia, bukan manusia. Bahkan kemunculan perlawanan terhadap pemerintah kolonial juga termasuk pemaknaan mereka akan tauhid yang mewujud kepada keyakinan bahwa tiada yang berhak mendominasi yang lain melainkan Allah. Kemandirian seorang santri akan dibentuk tidak dengan pengkhususan materi-materi keterampilan yang kita kenal di lembaga pendidikan saat ini. Akan tetapi, sebagaimana para kiai yang memilih berdikari dan tidak bergabung kepada pemerintah kolonial, santri dilatih setiap hari untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan saat nanti hidup di masyarakat tanpa mengkhususkan menjadi pelajaran.
Selain itu, pendidikan di pesantren juga turut andil dalam penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama, yaitu peniruan dan pengekangan. Peniruan yang dimaksud ialah upaya memindahkan pola kehidupan sahabat Nabi saw dan ulama salaf ke dalam kehidupan pesantren. Ini terlihat dalam ketaatan ibadah secara ritual, keberterimaan atas kondisi yang kurang, dan kesadaran kelompok yang tinggi. Sedangkan yang dimaksud pengekangan ialah disiplin sosial yang berupa kesetiaan tunggal kepada pesantren. Ini diukur dengan kesetiaan seorang santri dalam melaksanakan pola kehidupan yang tertera dalam literatur fikih dan tasawuf.
Dalam hal ini, kitab fikih lebih banyak diajarkan dibanding kitab tasawuf yang menjadi kitab minoritas. Meskipun, aspek spritual (tasawuf) mendominasi dalam aktivitas di pesantren. Lebih detail tentang kitab yang dipelajari dalam pesantren abad 19 akan dibahas di lain kesempatan. Dengan begitu, inti tujuan dari pendidikan pesantren ialah mencetak manusia yang punya kedalaman spiritual dan moral yang tinggi sebagai perwujudan dari sikap ketauhidan. Sehingga kekhawatiran dengan persoalan duniawi bukan sebuah persoalan. Ajaran fikih dan tasawuf menjadi patokan perilaku seorang santri dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.