Oleh: Ades Sugestian
ChanelMuslim.com-Kalabahi, Alor– Selama tujuh hari, sejak tanggal 29 Mei – 4 Juni 2018, Forum Jurnalis Muslim (Forjim) mengikuti perjalanan Kapal Ramadhan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam rangka pendistribusian sepuluh ribu paket pangan ke pelosok-pelosok Nusa Tenggara Timur.
Kapal tersebut singgah di tiga titik. Titik pertama, Labuan Bajo, lalu Kalabahi, dan Kupang. Adapun paket pangan Ramadan tersebut menjangkau 47 desa yang tersebar di 9 kabupaten di NTT. Sembilan kabupaten tersebut di antaranya Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Sikka (khususnya Kecamatan Maumere), Ende, Alor, Atambua, dan Kupang.
Dari Pelabuhan Garongkong, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, tujuh awak media dari berbagai media, seperti Republika, Jawa Pos, MNC TV, Net, Jabarpos, Jurnal Islam, dan dua komikus, didampingi Lukman Azis Kurniawan, koordinator wartawan dari ACT.
Kapal Ramahan dilepas oleh Plt Gubernur Sulsel Soni Sumarsono dan yang mewakili Bupati Kabupaten Barru. Juga hadir Iqbal Setyarso dan Insan Nurrohman selaku Vice President ACT. Turut melepas Kapal Ramadan, Annisa eks CherryBelle, sedangkan aktor Fauzi Baadilla sudah berada di Kalabahi sebelum Tim ekspedisi ACT dan media datang.
Dijadwalkan Kapal Ramadan berangkat sore hari, pukul 04.00 WIT. Namun, kami diinformasikan, pemberangkatan kapal mengalami penundaan sampai esok pagi harinya. Alasannya, kapal terhalang keramba milik nelayan setempat yang ditebar di sekitar Pelabuhan Garongkong.
Jelang keberangkatan esok hari, kami menghabiskan malam di atas Kapal KMP Inerie II, sebuah kapal yang diproduksi di Surabaya, dengan sejumlah aktivitas, seperti shalat tarawih bersama, siraman rohani dan pengarahan dari pihak ACT. Termasuk makan sahur di atas kapal.
Kami pun berkenalan dengan para relawan ACT yang datang dari berbagai daerah, seperti Serang, Jakarta, Depok, Tangerang, Sukabumi, Bandung, Malang, Bojonegero, Makassar, dan daerah lainnya. Di antara relawan, ada yang berprofesi sebagai pelajar, mahasiswa, dokter, komikus, pemijat, ustaz, dan profesi lainnya.
Pagi harinya, setelah shalat Subuh, kapal lepas jangkar menuju Labuan Bajo. Selama 25 jam Kapal Ramadan berlayar melalui Pulau Lembata. Untuk mengisi waktu selama berada atas kapal, di antara kami ada yang tadarus Quran, bincang-bincang obrolan ringan, nonton film, belajar pijat totok quantum Thailand dan bekam oleh Surya. Bahkan, ada juga yang diruqyah oleh Ustaz Erwin dari Makassar.
Sejumlah relawan sempat memilah paket bantuan yang rusak secara bergotong royong.
Sesekali kami berada di atas dek kapal untuk memandang pulau-pulau kecil sambil berselfie ria, menanti tenggelamnya matahari, bulan purnama di malam hari. Jika sudah merasa puas, kami kembali lagi ke kamar. Begitu seterusnya, hingga kapal merapat ke pelabuhan.
Di malam pertama di atas kapal, kami berbuka puasa dengan buah-buahan, teh hangat, kurma, dilanjutkan makan nasi dengan lauk pauk ikan dan menu serta cemilan lainnya.
Akhirnya, Kapal Ramadan merapat di Pelabuhan Labuan Bajo Jumat pagi, pukul 08.00 WIT.
Sejumlah relawan mulai bersiap-siap untuk menurunkan paket pangan ke beberapa titik, seperti yang telah direncanakan sebelumnya.
Sebelum melaksanakan shalat Jumat, di antara kami ada yang berjalan-jalan ke pasar, tempat berjualan ikan, dan kapal-kapal speed boat merapat.
Kami pun sempat bertanya kepada sebuah agen travel, cara untuk bisa menuju ke Pulau Komodo. Ternyata jarak yang ditempuh menelan waktu tiga jam, biayanya Rp600.000 per orang. Karena waktu yang terbatas, kami hanya bisa jalan-jalan di sekitar pelabuhan, mengingat kami harus kembali ke kapal pada pukul 16.00 sore WIT, dan kapal akan segera berangkat.
“Usai shalat Jumat, setelah meng-update status di Facebook, rupanya ada kenalan yang tinggal di sekitar Labuan Bajo. Kami pun kopdar di depan masjid, untuk dijemput dan diajak berkeling dengan menggunakan sepeda motor.
Nampak bule-bule, agen travel, hotel-hotel di pelabuhan tersebut. Saya sempat membeli souvenir kaos bergambarkan komodo, meski belum berkesempatan ke Pulau Komodo.
Kawan saya bercerita, bahwa agen-agen travel itu dimiliki oleh orang asing, sedangkan karyawannya mempekerjakan masyarakat lokal.
Tepat pukul 16.00, saya kembali ke kapal, dan sore itu kapal mulai berangkat menuju Pelabuhan Kalabahi, Alor, NTT.
Alhamdulillah, gelombang air laut selama kami berada di atas kapal tak begitu besar, cukup membuat kami bergoyang.
Sebelum merapat di Kalabahi, kami mendengar informasi yang berbeda tentang jarak tempuh dan jadwal tiba di Pelabuhan Kalabahi, Alor. Ada informasi yang menyebut, kapal akan tiba pukul 19.00 WIT. Ada juga yang bilang pukul 22.00 WIT. Lumayan jenuh untuk menanti kapal tiba di pelabuhan.
Akhirnya kapal berlabuh sekitar pukul 00.00 WIT. Dari Pelabuhan Kalabahi, kami dijemput dengan menggunakan mobil sewa menuju penginapan Taman Suaka Alam Perairan (TSAP) Pantai Sebanjar, Desa Alor, Kabupaten Alor, NTT.
Saat menuju penginapan, kami banyak berbincang dengan driver yang mengantarkan kami. Yusron, pemuda asli Alor memberitahukan bahwa di Desa Alo Besar, terdapat sebuah Objek Situs Quran tua yang terbuat dari kulit kayu, tepatnya di komplek Masjid Jami Babusholah, Desa Alor Besar, Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor.
Kami pun menjadwalkan untuk meliput situs sejarah itu keesokan harinya.
Yusron juga bercerita, bahwa di Alor dikenal dengan mistiknya. Suanggi adalah istilah ilmu hitam di Alor. Itulah sebabnya orang Alor sangat disegani masyarakat di NTT.
Banyak perbicangan, mulai dari soal pendidikan, kondisi sosial, kerukunan umat beragama hingga politik wilayah setempat.
Koordinator wartawan, Lukman Aziz pun mengabarkan para relawan dan tim media akan bersiap-siap menuju Pulau Pura, Kampung Timuabang, Alor, NTT keesokan harinya. Malam itu, kami melepas lelah di penginapan Pantai Sebanjar, untuk bangun sahur dan bergerak kembali pagi harinya, pukul 07.00 WIT menuju Dulolong, salah satu desa yang ada di kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, NTT.
Di sinilah, gudang paket bantuan pangan ACT akan dibawa dengan menggunakan perahu nelayan menuju Pulau Pura. (Bersambung).[ind/Des]