RAMADAN telah tiba. Bulan yang penuh berkah. Pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Ada malamnya yang lebih baik dari seribu bulan.
Kedatangan Ramadan buat sebagian orang boleh jadi mirip kedatangan guru untuk sebagian murid yang malas. “Yahh, belajar lagi!” begitu gumam mereka.
Tapi ketika dikabarkan sang guru tidak datang, mereka akan bersuka cita. “Asyik, bisa bebas!” begitu kira-kira respon murid-murid malas.
Padahal, mereka sendiri yang rugi jika sang guru tidak datang. Tidak dapat ilmu dan pengorbanan mereka untuk sekolah jadi sia-sia.
Begitu pula sebagian orang yang imannya lemah. Kedatangan Ramadan serasa seperti beban, penjara, dan keadaan yang tidak mengenakkan.
Padahal, Ramadan di sisi Allah, sebagai hadiah istimewa untuk umat Islam. Pahala dilipatgandakan, hikmah berpuasa yang berlimpah, dan adanya malam Lailatul Qadar yang luar biasa.
Persis seperti sosok guru yang menjadi hadiah istimewa dari sekolah untuk para murid. Ada banyak kebaikan meskipun terasa melelahkan.
Tubuh kita ini tidak seratus persen tentang bangunan fisik. Ada ruang-ruang jiwa yang juga butuh dipenuhi kebutuhannya. Setidaknya, ada jatah sebesar seperduabelas untuk jiwa.
Biarkanlah jiwa kita mereguk jernihnya air yang mengalir di setiap sisi Ramadan. Ada ketenangan saat menahan hawa nafsu di siang hari. Ada kesejukan saat bertarawih di malam hari. Dan ada kesyahduan ketika lantunan tilawah menjadi pengisi celah waktu kosong.
Belum lagi qiyamul lail saat di hari biasa kita tertidur lelap. Belum lagi dengan momen khusus berzikir selepas shalat Subuh berjamaah.
Ah, Ramadan menjadi pengisi daya baru untuk kesegaran dan kebugaran jiwa kita. Pada saatnya, jiwa kita akan terus meninggi menuju langit ketujuh. Seperti halnya proses metamorphosis ulat yang menjijikkan menjadi kupu-kupu nan indah.
Ya Allah, betapa bersyukurnya hamba bisa bertemu lagi dengan hadiah istimewa-Mu: Ramadan.
Ahlan wasahlan, Ya Ramadan. Semoga guliran siang dan malammu tidak berlalu dengan sia-sia. [Mh]