JANGAN terkecoh dengan asumsi umum bahwa orang kaya itu buruk dan orang miskin itu pasti baik. Karena uang tidak mengubah karakter seseorang.
Punya banyak uang itu enak. Dan menjadi orang kaya itu selalu menyenangkan. Tapi tidak semua yang menyenangkan itu membahagiakan.
Tema tentang uang ini, banyak dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Umumnya berisi tentang peringatan.
Bahkan, ada nama satu surah yang identik dengan uang. Yaitu, Surah Al-Anfal yang artinya harta rampasan perang.
Menariknya, ayat ini dimulai dengan kata yas-aluunaka. Sebuah kata dengan fi’il mudhori’ yang bersifat faktual, sedang, dan akan terus berlangsung.
Arti kasarnya, soal jatah uang ‘perjuangan’ akan selalu menjadi pertanyaan dan bibit krusial dalam perjuangan umat.
Dan ayat keduanya dijawab dengan penegasan dari Allah tentang ketaatan dan ketundukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Jadi, benteng utama ‘bahaya laten’ uang ini adalah kekuatan iman.
Di masa para sahabat Nabi, keberadaan orang kaya dan miskin tak menjadi kendala keakraban. Hal ini karena keimanan mereka membingkai karakter itu. Sehingga pengaruh uang tidak mengubah jati diri mereka.
Kalau pun ada sahabat Nabi yang miskin, irinya dengan yang kaya bukan karena kenikmatannya. Tapi karena peluang untuk bisa meraih pahala sebanyak-banyaknya.
Nabi menjawab kegelisahan itu dengan menjelaskan bahwa peluang pahala tidak melulu karena faktor uang: tasbih itu sedekah, tahlil itu sedekah, tahmid itu sedekah, menyingkirkan duri di jalan juga sedekah, dan seterusnya.
Para sahabat Nabi yang kaya juga tidak memiliki perubahan karakter yang ‘aneh-aneh’. Mereka tetap tak berjarak, ikut sama-sama berjihad, dan lainnya.
Bahkan yang mereka tunjukkan adalah merasa ‘gelisah’ dengan kekayaannya. Seolah kekayaan itu beban yang bisa menghambat mereka meraih ridha Allah.
Itulah yang pernah ditunjukkan miliarder sekelas Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika ingin sekali menjadi orang miskin dengan akan menginfakkan seluruh hartanya. Tapi hal itu dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Belakangan, setelah masa Khulafaur Rasyidin, baru muncul generasi yang begitu uang oriented. Uang seolah mengubah karakter mereka.
Padahal, uang tidak pernah mengubah seseorang. Justru menegaskan keadaan sebenarnya dari karakter seseorang.
Jika imannya kuat, dan orangnya memang asli soleh, maka uang tak ubahnya seperti busana yang hanya sebagai alat seperlunya saja. Bukan sesuatu yang akhirnya mengubah karakter dan akidahnya.
Inilah mungkin hikmah, kenapa Allah tidak melimpahkan harta kepada banyak orang beriman. Karena boleh jadi akan menghidupkan karakter buruk manusiawinya yang selama ini terpendam.
Harta dan dunia ini hanya sementara. Kemungkinannya hanya dua: kita yang akan lebih dulu meninggalkannya, atau harta sendiri yang lenyap mendahului kita.
Tapi keduanya memiliki titik temu yang sama: kita berakhir dalam keadaan tidak membawa apa-apa, kecuali pahala dan ridha Allah subhanahu wata’ala. Dan akhir itu tak akan lama lagi tiba. [Mh]