TAKDIR adalah apa yang Allah tetapkan pada makhluk-Nya, termasuk kita. Ketetapan ini sudah ada jauh sebelum kita lahir.
Kadang kita berencana tentang esok hari. Misalnya, besok mau kemana, mau melakukan apa, dengan siapa, dan seterusnya.
Bahkan dalam skala waktu yang lebih pendek, misalnya, setelah ini saya mau melakukan apa, dan seterusnya.
Setelah berencana itu, ada yang sesuai dengan yang direncanakan. Tapi, banyak juga yang tidak. Kadang kita kecewa karena tidak sesuai, kadang terlupakan begitu saja.
Itu tentang yang rutin dalam keseharian kita. Ada juga hal-hal besar yang jarang terjadi dalam hidup kita. Misalnya, kalau lulus sekolah ini, mau meneruskan kemana. Kalau sudah selesai kuliah, mau kerja di mana. Kalau nanti berjodoh, dengan yang seperti apa. Dan seterusnya.
Lagi-lagi, ada yang akhirnya sesuai dengan yang direncanakan. Tapi, banyak juga yang tidak.
Kadang, ada terbersit kekecewaan dalam hati. Dan hati mengekspresikannya dalam bentuk keluhan, marah, protes, dan lainnya. Kepada siapa?
Bisa kepada diri sendiri karena merasa tidak mampu mewujudkan yang direncanakan. Tapi tidak tertutup kemungkinan juga kepada Allah.
Rasa kecewa ini bisa menjadikan hidup kita tidak nyaman. Misalnya, andai saya tidak begini, maka saya tidak seperti ini. Ada penyesalan dan kekecewaan.
Dengan kata lain, kita kerap membebani diri kita dengan hal-hal yang di luar kemampuan kita. Karena apa yang akan terjadi sebenarnya bukan wilayah kemampuan kita. Manusia hanya bisa berencana dan berikhtiar.
Untuk itu, coba latih diri kita untuk memahami batas-batas wewenang yang bisa kita lakukan. Silahkan kita berencana dan berikhtiar, tapi hasilnya serahkan secara Ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala.
Sikap yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini adalah “Qodarullah, wa maasya-a fa’ala.” Allah telah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki akan terlaksana.
Sikap ini menunjukkan keimanan pada takdir Allah dan ridha dengan apa yang ditakdirkan. Kita tak lagi perlu berandai-andai dengan jika dan jika.
Terima dengan keridhaan apa yang telah Allah takdirkan. Lihat sisi baiknya. Selalu ada hikmah di balik semua yang Allah anugerahkan kepada kita. Sedikit atau banyak, bahkan jika luput sekali pun.
Ulangi lagi di semua episode kesibukan hidup yang lain. Rodhiitu billahi rabban. Aku ridha kepada Allah yang telah menciptakan, mengatur segala urusan, dan menakar rezeki.
Rasa ridha inilah yang memberikan energi positif dalam diri kita. Hati pun menjadi tenang. Tak ada gelisah, penyesalan, juga kemarahan terhadap apa saja yang luput dalam hidup kita.
Seorang ahli hikmah pernah mengatakan, “Kenikmatan hidup yang sebenarnya adalah ketika kita selalu ridha dengan takdir Allah dalam semua episode hidup kita.” [Mh]