SEDEKAH tak mengurangi harta. Ia seperti benih yang ditanam di lahan subur, bertambah dan bertambah.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasihat kepada Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma.
Nabi mengatakan, “Wahai Asma, janganlah engkau menghitung-hitung sedekah yang akan kau berikan, karena Allah akan menghitung-hitung pemberianNya untukmu.
“Janganlah engkau menakar-nakar sedekahmu, karena Allaha akan menakar-nakar rezekimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nasihat Nabi ini mengajarkan totalitas dalam sedekah, infak, dan sejenisnya. Jangan dihitung-hitung dan jangan ditakar-takar.
Boleh jadi, secara naluri ada kekhawatiran kalau harta yang disedekahkan akan mengurangi kekayaan. Terlebih lagi jika bersedekah di saat harta sedang pas-pasan.
Misalnya uang di dompet hanya seratus ribu. Kalau disedekahkan sebagiannya, maka berarti akan berkurang.
Itulah logika kita. Dan logika ini pula yang menyesatkan begitu banyak orang dalam hal yang mereka sebut dengan prinsip ekonomi.
Padahal, sedekah atau infak tidak masuk dalam prinsip ekonomi, meskipun terkait dengan uang. Karena keduanya sama sekali tidak mengurangi uang, justru akan menambah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjamin itu dalam hadisnya, “Tidak akan berkurang harta karena sedekah.” (HR. Muslim)
Padahal, sedekah atau infak bukan hanya akan menambah harta. Tapi juga memperoleh pahala dari Allah subhanahu wata’ala.
Jaminan ini hanya bisa dipahami oleh nilai iman. Semakin tinggi iman seseorang, semakin tidak menghitung-hitung sedekahnya. Dan, begitu pun sebaliknya.
Dunia ini tidak senilai sayap lalat di sisi Allah. Begitu kecil. Dan Allah Maha Tahu dan Bijaksana dalam membalas sedekah seseorang.
Jangan dikira para sahabat Nabi itu orang kaya semua. Banyak di antara mereka orang miskin yang hartanya pas-pasan.
Seorang sahabat Nabi bernama Abu Thalhah pernah menjadi kisah sebab turunnya ayat Al-Qur’an karena kemurahannya dalam sedekah.
Ia hanya punya, sebutlah, hanya sepiring nasi dan lauk. Tapi, ia begitu “berani” siap menjamu seorang tamu Rasul. Tamu itu pun diajaknya singgah di rumahnya.
Suasana malam mendukungnya memberikan jamuan “pas-pasan” itu. Ia minta agar istrinya merelakan jatah sepiring makanan anaknya untuk diberikan ke tamu itu.
Istrinya menidurkan anaknya agar “lupa” dengan makan malamnya. Dan jatah itu diberikan untuk sang tamu. Saat seolah makan bersama itu, lampu dimatikan. Terkesan mereka makan bersama, padahal tuan rumah hanya “akting” saja.
Keesokan harinya, Rasulullah memuji sahabat pemurah hati itu. Disebabkan kebaikannya, sebuah ayat dari Surah Al-Hasyr turun.
“….dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9) [Mh]