ChanelMuslim.com- Rumah kita bukan di sini. Rumah itu tempat menetap. Rumah juga tempat istirahat dari capek dan letih. Rumah adalah tempat di mana seharusnya kita berada. Dan rumah tempat kita menetap, istirahat, dan seharusnya berada; bukanlah rumah kita saat ini.
Semua kita memiliki rumah. Besar atau kecil, itu soal nasib. Yang penting, kita memiliki tempat untuk kembali dari berbagai kesibukan hidup. Tempat yang menjadi titik koordinat kita saat berada di bumi ini.
Hampir seumur hidup kita, rumah begitu sangat dekat. Wujudnya. Keadaannya. Serba-serbinya. Dinamikanya. Di situlah kita mulai membuka mata di pagi hari, dan memejamkannya di saat malam.
Rumah juga menyatukan cinta kita dengan keluarga. Di situ, kita seperti telanjang apa adanya. Tak ada yang ditutup-tutupi tentang kita. Baik buruk, kurang lebih, kasar lembut; semua terpajang jelas dalam rumah. Kita begitu menyatu dengan rumah.
Hari berganti pekan. Pekan berpindah menjadi bulan. Bulan bergulir menuju tahun. Waktu membentuk ikatan kita dengan rumah.
Rumah yang menyatu dengan jiwa kita bukan hanya fisiknya, tapi juga keadaannya. Semua ruang lingkup jiwa yang tumbuh dan berkembang di dalam rumah itu adalah bentuk lain dari rumah kita.
Mulai dari warna dinding hingga warna kehidupan di dalamnya. Mulai dari bersih kotornya lantai dan kaca jendela, hingga bersih kotornya jiwa kita di dalam rumah itu. Semua melekat dalam rongga-rongga rumah itu.
Jangan heran jika kemana pun kita pergi, rumah selalu menjadi tempat kembali yang paling dirindukan. Semewah-mewahnya hotel dan vila tempat kita bermalam, rumahlah yang paling ingin kita tinggali. Selezat-lezatnya restoran yang kita mampir untuk makan, rumah juga yang paling berkesan untuk kita cicipi lagi hidangan di dalamnya.
Baca Juga: Hadirkan Surga di Rumah Kita
Rumah Kita Bukan di Sini
Di rumah kita menjadi manusia apa adanya. Tidak ada pura-pura. Tidak ada takut di situ. Karena semua yang di dalamnya adalah cinta.
Sayangnya, memori kita terasa ada setelah menyatunya fisik dan ruh kita. Sebelum itu, semua seperti tak ada ingatan. Padahal, fisik kita hanya pinjaman sementara. Tak ubahnya seperti cashing ponsel yang berganti-ganti, tapi tetap dengan mesin yang sama.
Tak ada ingatan sedikit pun di mana kita sebelum berada di rumah kita saat ini. Sebelum, saat kita berada di rumah bersama ayah ibu, bersama suami istri, bersama anak cucu.
Bahkan, kita pun tidak tahu kenapa tiba-tiba berada di rumah itu. Kenapa tiba-tiba kita bersama mereka. Kenapa kita tiba-tiba mencintai mereka dan mereka pun mencintai kita.
Kita pun menjadi tidak tahu bahwa rumah kita sebenarnya bukan itu. Bukan di mana ayah ibu kita tinggal. Bukan di mana suami istri kita berada. Bukan pula di mana anak cucu kita tempati.
Rumah kita sebenarnya nun jauh di sana. Tempat di mana kita berasal untuk kemudian kembali lagi ke tempat awal.
Manakala kita “dipaksa” untuk kembali, orang-orang di sekitar rumah itu pun mengatakan, “Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya.”
Itulah rumah kita yang sebenarnya. Rumah abadi yang akan kita tinggali untuk selamanya. Ke rumah itulah yang lebih pantas disebut pulang kampung.
Siapkan sebanyak-banyak bekal untuk pulang. Agar, pulang kita tidak menuju rumah yang buruk. Melainkan rumah yang indah dan menyenangkan. Jauh lebih indah dan menyenangkan dari rumah yang kita tinggali saat ini.
Kalau ada ungkapan hikmah mengatakan, rumahku surgaku. Maka, pepatah hikmah lain mengatakan, surga Allah itulah rumahku. (Mh)