TEMAN yang mau berbagi mungkin banyak. Tapi, teman yang bikin hati betah sepertinya jarang.
Pernahkah kita merasa nyaman jika bersama seseorang. Seorang sahabat yang kalau sudah bersamanya terasa waktu bergulir cepat. Tidak ada jarak, tidak ada rahasia. Semua hal serasa begitu dekat dan bikin ‘plong’.
Jangan maksudkan ini sebagai tuntutan terhadap orang lain ke kita. Sebaliknya, inilah perjuangan kita untuk bisa disukai sahabat kita.
Ada sejumlah tips yang mungkin bisa menjadi pengayaan.
Pertama, jangan cerminkan diri kita ke orang lain. Sebaliknya, cerminkan diri orang lain ke kita.
Hal ini menunjukkan bahwa kita berusaha menyelami sahabat kita: apa yang saat ini dia rasakan, apa yang sebenarnya dia harapkan dari perjumpaan dengan kita.
Karena itu, jangan banyak bercerita tentang diri kita. Kecuali sekadarnya saja. Tapi, coba pancing dan arahkan pembicaraan tentang dirinya. Meskipun hanya hal-hal sepele, seperti tentang bajunya, sepatu atau sandalnya, jilbabnya, dan lainnya.
Kedua, orang lebih suka tentang pembicaraan yang dekat daripada yang jauh.
Kadang, orang bersahabat karena ‘diikat’ oleh hal-hal yang jauh. Seperti, karena sama-sama satu kantor, sama-sama satu kampus, satu organisasi, dan lainnya.
Ketika topik obrolan tentang ‘ikatan’ itu: tentang aturan, tentang organisasi, dan sejenisnya; cakupan pembicaraan pun menjadi sangat jauh. Padahal, begitu banyak topik yang dekat yang terlihat di diri kita sendiri.
Misalnya, tentang apa yang sedang kita kenakan tadi. Tentang keadaan diri, orang tua, anak, keluarga, bahkan tentang calon pasangan jika belum menikah.
Topik itu terasa lebih dekat karena bisa langsung kita raih. Obrolannya tentang diri kita, bukan tentang orang lain.
Ketiga, orang lebih nyaman dengan hal yang rileks daripada yang serius.
Rileks tidak berarti basa-basi tanpa arti. Rileks terasa ketika obrolan tidak perlu dahi berkerut. Sebaliknya, selalu membuat mulut tersenyum dan tertawa lepas.
Ketika di momen tertentu, topik sudah nyerempet ke yang serius, balikkan lagi ke candaan tentang diri kita sendiri.
Misalnya, obrolan mulai nyerempet ke politik, kembalikan lagi ke tema tentang diri kita: “Ya, diri kita juga banyak kekurangan.” Senyum dan cari candaan yang bisa mengakrabkan.
Empat, jangan pernah menggurui meskipun kita menguasai ilmunya.
Persahabatan dan obrolan yang asyik yaitu ketika dua pihak merasa setara. Karena ketika satu pihak merasa ‘di bawah’ maka dia akan cenderung diam dan takut salah.
Kecuali kalau ditanya tentang ilmu tertentu yang kita kuasai, maka jawabannya to the point saja. Jangan merasa ‘ini ada kesempatan buat nunjukin kalau kita lebih pintar dari dia’. Jangan. Di hadapan kita ini seorang sahabat, bukan murid.
Lima, biasakan untuk selalu tetap menatap wajah sahabat kita. Bukan ke arah lain.
Yang sering orang lupa dalam obrolan itu adalah tatapan mata. Karena dengan begitu, orang merasa sedang diperhatikan, disimak, dan dihargai.
Mengalihkan pandangan ke objek lain akan mengesankan kalau obrolan itu baiknya segera disudahi, nggak penting, dan sia-sia. Seolah-olah yang diajak bicara punya urusan lebih penting dari obrolan itu.
Keenam, ekspresikan perhatian dengan sentuhan tangan.
Jika yang diobrolkan tentang kesedihan, bisa ditepuk pelan bahu sahabat kita. Jika tentang kegembiraan, pegang tangannya untuk memberikan dukungan. Peluk sahabat kita jika memang diperlukan.
Tentu ini untuk persahabatan sesama jenis, bukan terhadap lawan jenis.
Ah, betapa nikmatnya punya sahabat yang bisa seperti ini. Bukan hanya bisa berbagi benda, tapi yang lebih penting lagi berbagi rasa dan cinta.
Sekali lagi, ini bukan tuntutan terhadap orang lain ke kita. Tapi perjuangan dari kita ke para sahabat tercinta. [Mh]