IBU seperti bayang-bayang dari anaknya. Jika anaknya senang, ia ikut senang. Tapi jika sedih, ia bisa lebih sedih dari anaknya.
Salah satu istri Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang begitu dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Ummu Rumman.
Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah pernah memuji Ummu Rumman dengan ungkapan, “Siapa yang ingin melihat bidadari, maka lihatlah Ummu Rumman.”
Ummu Rumman dinikahi Abu Bakar setelah menjanda dari suami pertamanya sebelum masa kenabian. Suami pertama Ummu Rumman merupakan teman dekat Abu Bakar. Sebagai penghormatan, Abu Bakar menikahi Ummu Rumman.
Sebelum menikahi Ummu Rumman, Abu Bakar sebenarnya sudah punya istri. Tapi, istri pertama Abu Bakar tidak mau masuk Islam. Karena itu, Abu Bakar menceraikannya. Hasil pernikahan Abu Bakar dengan istri pertamanya ini adalah sahabiyah yang bernama Asma binti Abu Bakar.
Ummu Rumman bersedia masuk Islam. Dari pernikahannya dengan Abu Bakar, lahirlah seorang putri cantik yang bernama Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kelak, Ummu Rumman menjadi ibu mertua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ummu Rumanlah yang menemani keluarga Abu Bakar hijrah ke Madinah. Di Madinah, ia tinggal bersama Abu Bakar, Aisyah, dan kakak Aisyah yang bernama Abdurrahman.
Ummu Rumman begitu bahagia punya menantu Rasulullah. Ia seperti mendapatkan kehormatan yang luar biasa.
Namun, ada fase hidupnya yang begitu berat ia rasakan. Justru, di saat ia sebagai ibu mertua Rasulullah.
Fase berat itu ia alami ketika putrinya, Aisyah, difitnah selingkuh oleh begitu banyak orang di Madinah. Tuduhan fitnah itu tak lain disebarluaskan oleh kaum munafik yang tak suka dengan Rasulullah.
Fase itu bukan hanya menguncang Aisyah yang menjadi objek fitnah. Melainkan juga Ummu Rumman sebagai ibu kandungnya.
Aisyah tak tahan dengan fitnah keji itu. Ia memutuskan untuk menetap sementara di rumah ayah ibunya. Saat itulah, Ummu Rumman tak tahan dengan pemandangan yang dialami putrinya.
Selama kurang lebih satu bulan, tak ada wahyu yang turun untuk menjelaskan hal ihwal fitnah itu. Rasulullah sudah menenangkan hati Aisyah, tapi putri kesayangan Ummu Rumman ini tidak puas. Ia menginginkan Allah subhanahu wata’ala yang menjelaskannya.
Hingga, turunlah firman Allah, Surah An-Nur ayat 11: sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga….dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyebaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
Sayangnya, Ummu Rumman sudah terlanjur terkena pukulan batin yang tak tertahankan. Ia sakit keras. Aisyah setia menemani ibunya yang sedang sakit.
Tak lama setelah sakit itu, Ummu Rumman meninggal dunia. Aisyah begitu bersedih, begitu pun dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang turun langsung ke liang lahat untuk jenazah Ummu Rumman.
**
Ibu itu bayang-bayang hati putra-putrinya. Rasa bahagia putra-putrinya adalah juga rasa bahagia dirinya. Begitu pun sebaliknya. Bahkan, ibu mungkin merasakan lebih dari yang dirasakan anak-anaknya.
Berhati-hatilah mengungkapkan kesedihan di hadapan ibu. Karena ‘pukulan’ yang ia rasakan boleh jadi lebih besar dari yang dirasakan anaknya. [Mh]