MALU itu mulia. Tapi jika malu diletakkan pada tempat yang salah, hasilnya bisa sebaliknya.
Seorang guru punya pengalaman menarik ketika mengajar di dua tempat: di Indonesia dan Al-Jazair. Sebuah pengalaman tentang budaya umumnya.
Ketika mengajar di siswa Indonesia, ia mempersilakan para siswa untuk bertanya. “Silakan yang mau bertanya?” ucapnya. Sayangnya, hampir tak ada yang mau bertanya. Suasana menjadi sepi.
Berbeda ketika di siswa Aljazair. Begitu diberikan kesempatan bertanya, hampir semua siswa angkat tangan minta izin bertanya. Suasana pun menjadi agak riuh.
Tentu pengalaman nyata ini tidak berlaku di seluruh tempat di Indonesia. Boleh jadi, masih banyak siswa yang aktif bertanya. Ini hanya tentang keumuman saja.
Ketika secara pribadi ditanya kenapa tidak bertanya padahal sudah diberikan kesempatan, jawabnya sederhana, “Malu.”
Begitu pun di kasus yang lain. Misalnya, dalam pemilihan ketua kelas. Rata-rata mereka yang dianggap mampu tak mau ditunjuk. Kenapa? Jawabannya sama: malu.
Kasusnya boleh jadi bukan hanya di dunia siswa saja. Di masyarakat umum juga mirip. Misalnya dalam rapat orang tua siswa, atau rapat RT, dan lainnya; jarang yang mau bertanya. Alasannya sama: malu!
Tidak heran jika akhirnya muncul pepatah: malu bertanya sesat di jalan. Hal ini dimaksudkan agar jangan salah menempatkan rasa malu.
Malu itu sebenarnya sangat mulia. Bahkan merupakan bagian dari akhlak Islam. Tapi, bukan malu seperti di atas.
Melainkan, malu untuk melakukan keburukan. Misalnya, malu berbohong, malu korupsi, malu bermaksiat, malu ingkar janji, malu membuka aurat, dan lainnya.
Ada sedikit bias antara rasa malu yang diajarkan Islam dengan malu sebagai keumuman budaya. Yaitu, adanya rasa malu karena khawatir salah bicara, tak kredibel dalam tugas, atau hal lain yang menjadi celah terbukanya kekurangan diri.
Daripada nanti terbuka aib atau ketidakmampuan diri, maka lebih baik diam saja. Dengan kata lain, malu seperti itu lebih karena adanya rasa rendah diri atau minder.
Hal ini bisa dibilang sebagai komplikasi rasa minder. Seorang anak yang biasa diperlakukan sebagai sosok yang dianggap tidak mampu, maka ia akan tumbuh membawa budaya minder atau kurang percaya diri.
Jadi, jangan salah menempatkan rasa malu. Malu bukan sebagai indikasi rasa minder. Melainkan karena malu berbuat buruk. Malu kepada Allah dan malu kepada manusia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika tak ada lagi rasa malu, silakan berbuat semaumu.” (HR. Bukhari) [Mh]