JUMLAH pengangguran anak muda dari kalangan Gen Z cukup mengkhawatirkan, salah satu penyebabnya karena salah memilih jurusan semasa kuliah.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki mengatakan sebagian anak muda tidak mengetahui konsekuensi dari pemilihan jenjang sekolah SMA dan SMK, dikutip dari CNBC, pada Selasa (28/05/2024)
Di samping itu, untuk sejumlah jurusan di perkuliahan juga membutuhkan waktu tunggu hingga mendapatkan pekerjaan yang lebih lama ketimbang jurusan lainnya.
Masa tunggu yang terlalu lama ini, kata dia, yang diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Gen Z tidak pede berburu pekerjaan, hingga akhirnya memilih menjadi pengangguran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap fakta mengkhawatirkan terkait kondisi penduduk muda Indonesia tersebut. BPS melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan atau NEET. Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda.
Baca Juga: Mengapa Harus Kuliah
Gen Z Banyak Menjadi Pengangguran, Diduga Salah Jurusan Kuliah dan Susah Cari Kerja
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menduga banyak anak muda Gen Z menjadi pengangguran karena lelah lamaran kerjanya terus ditolak.
Faktor penolakan ini menjadi salah satu sebab yang membuat jumlah anak muda Indonesia masuk dalam golongan tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET).
“Kalau dia sudah menjadi NEET selama 1 tahun atau 3 tahun akhirnya memang akan men-discourage keinginannya mencari pekerjaan,” kata Maliki.
Maliki menuturkan rentetan penolak yang diterima oleh anak muda tersebut membuat mereka putus asa. Para anak muda ini, kata dia, menjadi tidak percaya diri untuk lanjut melamar kerja.
Selain itu banyak mahahsiswa di kampus-kampus negeri melakukan aksi protes atas keputusan pemerintah menaikkan uang kuliah tunggal (UKT).
Maliki mengatakan meski biaya pendidikan cukup penting, namun ada faktor lain yang juga harus ditekankan untuk mengatasi pengangguran di anak muda. Dia bilang faktor itu adalah motivasi diri yang lebih penting.
Maliki berkata anak-anak muda diharapkan sudah mengetahui tujuan hidupnya ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja. Misalnya ketika seseorang menempuh pendidikan vokasi, dia mengatakan orang tersebut harus sudah tahu bahwa mereka ingin langsung bekerja.
Maliki beranggapan biaya pendidikan murah akan percuma, apabila para peserta didik masih linglung dengan apa yang mereka sebenarnya inginkan. Dia khawatir nantinya mereka hanya ikut-ikutan tren untuk masuk ke perguruan tinggi.
“Akhirnya keahlian yang dimiliki tidak optimal dan akhirnya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan dunia kerja,” kata dia.
Maliki mengakui efek jangka panjang pandemi Covid-19 masih menghantui perekonomian Indonesia. Menurut dia, hal itu bisa terlihat dari persentase jumlah NEET sebelum dan sesudah Covid.
Dia menuturkan pada 2019, jumlah NEET di Indonesia baru 21,77% dari total penduduk yang berusia 15-24 tahun. Pada saat pandemi terjadi, jumlah itu melonjak menjadi 24%. Beruntung, angka tersebut berangsur-angsur menurun hingga pada 2023 jumlahnya tinggal 22,5%.
[Ln]