JASA baik kadang tak berbalas baik. Seperti air susu berbalas air tuba, jasa baik seseorang bisa berbalas sebaliknya.
Dalam pentas dakwah politik Indonesia, ada sosok hebat anak bangsa bernama Muhammad Roem. Ia adalah seorang tokoh diplomat Indonesia yang membangun karir melalui gerakan pemuda Islam.
Beliau lahir tahun 1908 di daerah Temanggung Jawa Tengah. Roem beruntung bisa mengenyam pendidikan Belanda hingga meraih gelar sarjana hukum.
Karena spesialisasinya yang langka di zaman itu, para pendiri bangsa ini mempercayakan Roem mewakili Indonesia dalam sejumlah perundingan internasional dengan Belanda. Mulai dari Perjanjian Linggar Jati, Perjanjian Renville, hingga Perjanjian Roem-Roijen di tahun 1949.
Dalam perjanjian yang terakhir itu, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Sebuah prestasi yang bisa dibilang luar biasa.
Bahkan, lawan debat Dr. Roem: Dr. Jan Herman Van Roijen mengungkapkan rasa hormat dan takjubnya pada Roem.
Roijen menulis, “Dalam karir saya selama 40 tahun, baru kali ini saya berdebat keras dengan seseorang yang akhirnya begitu saya hormati.”
Roem membangun karir politik melalui gerakan pemuda Islam. Ia pun bergabung dengan Partai Masyumi.
Namun di luar dugaan, Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960. Dan pada tahun 1962, Roem dipenjara bersama dengan petinggi Masyumi lainnya. Tanpa ada persidangan apa pun.
Pasca G 30 S PKI, pemerintahan Soekarno melemah. Para petinggi Masyumi pun akhirnya dilepas, termasuk Roem. Bersama dengan M Natsir, Roem mendirikan ormas Islam bernama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia atau DDII.
Di awal era Soeharto, para aktivis Islam ini mendirikan Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi. Pada muktamar pertama tahun 1968 di Malang, Roem terpilih secara bulat sebagai ketua umum.
Lagi-lagi, hal yang tidak menyenangkan dialami Roem. Rezim Soeharto tidak menginginkan diplomat kawakan ini menjadi nakhoda Parmusi. Akhirnya, Roem mengalah.
Ia mengisi kesibukannya dengan seminar-seminar Islam internasional mewakili Indonesia, khususnya DDII.
Muhammad Roem wafat pada 24 September 1983 di usia 75 tahun. Bisa dibilang, seluruh kesibukan hidupnya diisi dalam dinamika dakwah untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia.
**
Dalam lingkungan yang buruk, orang baik diperlakukan seperti penjahat, sebaliknya, orang jahat menjadi seperti pahlawan.
Kehidupan ini tak selalu berada pada lingkungan yang baik. Di situlah ujiannya. Karena pada kebanyakannya, lingkungan buruk kerap lebih banyak mendominasi dari yang baik.
Jangan pernah heran, jangan pernah putus asa; jika kita menjadi salah satu dari yang mengalami ini. Selama diniatkan ikhlas karena Allah, tak ada yang sia-sia dalam amal Islam.
Teruslah berjuang untuk tegaknya kalimat Allah subhanahu wata’ala. Gantungkanlah harapan: hanya Allah yang pantas membalas amal kita. [Mh]




