MARAH itu manusiawi. Karena membenci dengan sesuatu, maka orang akan marah. Tapi, tidak semua marah muncul karena benci, kecewa, atau tidak suka.
Semua kita tentu pernah mengalami marah. Sebabnya bisa macam-macam. Ada yang karena kecewa, benci, dan lainnya.
Misalnya, marah dengan orang jahat. Bentuk jahatnya bisa macam-macam. Bisa dia maling, copet, penipu, pembohong, koruptor, dan lainnya.
Namun, ada marah yang muncul bukan karena objek yang kita tidak suka. Tapi karena sebab lain yang tidak berhubungan langsung dengan objeknya.
Contoh, ada seorang ibu yang marah besar kepada anaknya. Sedemikian marahnya, ia bukan hanya membentak, tapi juga memukul. Anak pun mengalami dua rasa sakit sekaligus: sakit fisik dan sakit hati.
Padahal, sebab atau objek marahnya tergolong sepele dan tidak sepadan dengan bentuk marah yang diterima sang anak. Misalnya, anak memecahkan gelas tanpa sengaja, bangun pagi kesiangan, dan lainnya.
Pendek kata, sebab-sebab itu merupakan bentuk kekhilafan yang manusiawi. Terlebih lagi seorang anak yang keseimbangan motorik dan kognitifnya belum sempurna seperti orang dewasa.
Bayangkan, seorang anak yang masih balita dimarahi sedemikian sengitnya oleh ibunya sendiri hanya lantaran tanpa sengaja memecahkan gelas. Sang anak dibentak, dipukul, bahkan dengan alat seperti sapu atau sandal.
Dalam dunia orang dewasa, ada sebab-sebab kecil, bisa terjadi penganiayaan. Misalnya, gara-gara bersenggolan kendaraan, dua pengendara berkelahi hingga luka parah.
Hanya karena bersenggolan kendaraan? Bukankah hal itu wajar karena keduanya sama-sama bergerak dalam keadaan tergesa-gesa. Kenapa harus marah dengan pelampiasan kekerasan fisik?
Masih banyak contoh lain yang sebenarnya urusan sepele tapi penyikapan marahnya menjadi luar biasa. Ada apa?
Rupanya ada sebab lain yang munculnya dari dalam diri kita sendiri. Tanpa sadar, kita mengumpulkan berbagai kekecewaan. Mungkin karena kecewa dengan pemerintah, dengan suami atau istri, dengan aparat hukum, dengan lingkungan sekitar, atau kecewa dengan keadaan diri sendiri.
Jika tumpukan aneka kekecewaan ini tidak dinetralisir, maka sewaktu-waktu bisa meledak. Pemicu ledakan bisa apa saja, bahkan hanya karena hal sepele tadi.
Kata kuncinya ada pada netralisir. Dan hal itulah yang sering kita lupakan.
Dalam satu riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memuji sahabat yang tiap menjelang tidur melakukan muhasabah mandiri.
Ia bermunajat kepada Allah, kalau ada salah dengan orang lain yang tidak disengaja, ia minta dimaafkan. Dan ia juga siap memaafkan semua kekhilafan orang terhadap dirinya.
Hal itu dilakukan setiap malam, sebelum tidur. Dengan amal sederhana itu, sahabat ini menjadi orang yang dijamin masuk surga.
Kenapa? Karena ia selalu menetralisir kekecewaan dalam diri. Kecewa terhadap siapa pun, dan terhadap apa pun. Ia ucapkan istigfar jika ada salah, dan ucapkan alhamdulillah jika ada kebaikan.
Jadi sebelum tidur, paksakan diri untuk berwudhu. Jika bisa shalat dua rakaat sangat bagus. Setelah itu, lakukan muhasabah mandiri. Saat itu juga, hati akan terasa lega, plong. Tidak ada beban dan amarah yang tersimpan. [Mh]