JANJI itu seperti utang. Kalau tak kunjung terbayar akan ada yang menagih. Silakan berjanji jika yakin mampu untuk menepati.
Berapa kali sehari kita mengucapkan janji. Janji tentang apa saja, yang besar maupun yang terasa kecil.
Janji yang paling terasa ringan ketika terucap untuk anak-anak kecil. Siapa pun anak kecil itu: ‘Ntar, ya!’, ‘Besok, ya!’, ‘Pasti, deh!’
Begitulah kira-kira sederet janji yang terucap. Karena yang dituju anak kecil, dianggapnya tidak memiliki bobot apa-apa. “Ya, nanti juga dia lupa!” begitu kira-kira anggapan yang umum.
Padahal, semua kita pernah menjadi anak kecil. Dan pernah juga merasakan bagaimana jika orang dewasa tak menetapi janji. Jelas, sakit hati.
Tapi mau gimana lagi. Mau marah, yang akan dimarahi jauh lebih besar. Mau nagih, yang ditagih jauh lebih pandai meramu janji baru. Yang bisa dilakukan si anak kecil hanya menangis.
Padahal di sisi Allah, yang namanya janji tetap janji. Ada nilai pahala dan dosanya. Meskipun janjinya hanya pada anak kecil.
Kalau sudah terbiasa ‘main-main’ janji pada anak kecil, akan terbiasa permainannya dengan sesama orang dewasa. Alasannya, ‘Maaf, saya ini…’, ‘Maaf, saya itu…’, dan seterusnya.
Lebih parah lagi jika ‘memainkan’ janji pada Allah subhanahu wata’ala. Contoh, “Ya Allah, jika lulus ujian, saya akan banyak zikir.” Tapi ketika harapannya terkabul, janjinya menguap begitu saja.
Sebenarnya, ingkar janji bukan hanya berdosa. Tapi juga menjatuhkan nilai baik diri sendiri di mata orang lain. Terlebih lagi di sisi Allah.
Janji kita akan mengalami inflasi. Hal ini karena nilai janji kita sudah nyaris tak memiliki nilai. Orang akan merespon, “Alah, paling ingkar lagi!”
Lantas, apa lagi yang akan orang pegang dari lisan kita kalau bukan dalam menepati janji.
Para perawi hadis di masa salafus soleh, kadang mendhaifkan hadis hanya karena si perawi ‘memainkan’ janji. Termasuk dalam hal paling sepele.
Contoh, ada seorang perawi yang memanggil-manggil hewan seperti ayam, kucing, atau hewan peliharaan lainnya. Seolah, ia memanggil untuk memberi makan. Padahal, hanya memanggil saja, dan tidak memberikan makan.
Bayangkan, janji kepada hewan saja sudah menjatuhkan kredibilitas seseorang. Apalagi janjinya kepada manusia dan terlebih lagi kepada Allah subhanahu wata’ala.
Inilah kita saat ini. Mungkin karena kurangnya pemahaman terhadap nilai janji. Mungkin juga karena salah asuh oleh lingkungan, bisa keluarga atau masyarakat.
Tapi, cara menyalahkan orang lain rasanya tidak bijak. Cobalah berjanji untuk berubah total mulai saat ini. Jangan cuma janji, ya! Tepati! [Mh]