ChanelMuslim.com- Seorang membayangkan kalau ia sudah beriman, beramal soleh, dan yang baik lainnya akan menjadi jaminan bahwa hidupnya akan full bahagia. Hidupnya tenang, tenteram, dan penuh dengan seribu satu cerita tentang senyum.
Namun, dalam realitas yang dialami, ternyata kesolehan tidak berbanding lurus dengan hidup enak. Meskipun ia sudah berusaha untuk meraih itu.
Selalu saja ada cerita tentang kesedihan. Cerita tentang kekhawatiran. Cerita tentang kegelisahan yang kadang menjadikan malam tidak senyaman untuk waktu tidur.
Tiba-tiba ada suara bisikan terdengar dari arah batin yang dalam, “Ternyata kesolehan tidak jaminan hidup pasti enak dan bahagia.”
Ya, begitulah hidup itu sebenarnya. Hidup di dunia ini bukan seperti pilihan menaiki bus umum menuju ke suatu tempat.
Ada pilihan VIP, eksekutif, bisnis, dan ekonomi. Yang kalau pilihannya VIP, maka selama perjalanan itu seratus persen akan merasakan kenyamanan.
Hidup ternyata tidak seperti itu. Dunia ini bukan tempat untuk menerima balasan dari kesolehan atau kejahatan seseorang. Hidup di dunia ini sebagai ujian.
Kesolehan itu bukan cita-cita. Bukan juga apa yang selalu kita kerjakan. Kesolehan itu jika dihubungkan dengan hidup dan ujian adalah pembuktian bahwa apa pun yang dialami, diri tetap istiqamah. Tetap berada dalam rel lurus jalan Islam.
Siapalah kita dibanding dengan Fathimah radhiyallahu ‘anha. Apakah lantaran karena kesolehan dan posisinya sebagai puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hidupnya penuh kebahagiaan?
Fathimah sendiri pernah menceritakan beratnya hidup yang ia rasakan kepada ayahanda tercinta. Dalam hidup yang kekurangan, ia harus membuat bahan makanan sendiri sambil menggendong anaknya.
Sementara suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, bahkan harus bekerja di majikan yang notabene orang Yahudi. Bukan sebagai juru tulis atau kantoran, tapi sebagai buruh kasar.
Boleh jadi, Fathimah mengharapkan respon kongkrit dari ayahanda tercintanya. Setidaknya sebuah doa makbul yang menjadikannya bisa terlepas dari beratnya hidup seperti itu.
Alih-alih hal itu yang diharapkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya membesarkan hati puterinya untuk tetap bersabar.
Begitu pun yang pernah dialami kakak-kakak Fathimah seperti Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum radhiyallahu anhunn. Ada di antara mereka yang pernah ikut hijrah bersama suami ke Yaman yang jaraknya sekitar tiga kali lipat dari Mekah ke Madinah.
Tidak ada sarana kendaraan antar jemput. Tidak juga ada jaminan keamanan dari sergapan musuh. Dan seterusnya. Lalu, bagaimana dengan keuangan keluarga mereka? Bagaimana dengan kesejahteraan hidup mereka?
Ulasan ini tidak bermaksud menakut-nakuti hati kita. Tidak juga mengecilkan harapan dan semangat kita. Ini hanya “pelurusan” bahwa hidup ini bukan tentang “imajinasi kesolehan” kita.
Hidup ini adalah episode kecil tentang kesabaran dan istiqamah agar tetap dalam jalan Islam. Ujian tak akan pernah bisa dihindari. Karena hidup itu sendiri wajah lain dari ujian.
Bersabarlah dan bersyukurlah. Dua kata ini adalah arti lain dari istiqamah. Sabar merupakan istiqamah saat hidup begitu susah. Dan syukur adalah istiqamah saat hidup melewati wilayah kenyamanan dan kenikmatan. [Mh]