IBU merupakan sosok yang paling dihormati. Taati dan ikuti nalar pikirannya.
Ada hal menarik dari Imam An-Nu’man bin Tsabit atau biasa dikenal dengan Imam Hanafi. Meski sebagai ulama hebat, ia tetap mengikuti jalan pikiran ibunya yang sederhana.
Suatu kali, ulama kelahiran tahun 699 masehi ini dipanggil oleh ibunya. Saat itu, Imam Hanafi sudah menjadi imam besar umat Islam terlebih lagi di Bagdad.
Ibunya mengatakan, “Ibu masih melihat darah haid. Padahal, sudah masuk hari-hari suci. Pergilah ke Abu Abdurrahman Umar bin Dzurr. Tanyakan apakah ibu tetap tidak shalat atau sebaliknya.”
Imam Abu Hanifah menyimak semua yang dikatakan ibunya. “Baiklah, Ibu!” ucapnya.
Berangkatlah Imam Abu Hanifah ke rumah ulama yang disebutkan ibunya: Umar bin Dzurr.
Sesampainya di sana, tuan rumah merasa kikuk dengan kedatangan ulama besar sekaliber Imam Hanafi.
“Apa yang bisa saya bantu, Syaikh?” tanya tuan rumah.
Imam Hanafi menjelaskan tentang pertanyaan ibunya. “Ibuku meminta untuk menanyakan hal ini ke Abu Abdurrahman Umar bin Dzurr,” ucap Imam Hanafi.
Sontak ulama Umar bin Dzurr tertawa. “Bagaimana mungkin aku menjelaskan sebuah ilmu yang aku sendiri belajar dari Anda,” ungkapnya.
“Tapi ibuku meminta kalau kamulah yang memberikan jawaban,” ucap Imam Hanafi lagi.
“Baiklah,” kata Umar bin Dzurr. “Aku akan menjawab seperti Anda memberikan jawaban demikian dan demikian. Karena itu, sampaikanlah kepada beliau jawaban yang demikian dan demikian itu adalah jawabanku,” ungkap Umar bin Dzurr.
Imam Hanafi mengangguk dan setuju. Ia pun kembali ke ibunya yang tengah menunggu jawaban penting itu.
“Ibu, Umar bin Dzurr mengatakan demikian dan demikian,” ucap Imam Hanafi seolah-olah itulah jawaban yang disampaikan Umar bin Dzurr, ulama yang ditunjuk ibunya untuk memberikan jawaban.
**
Siapa pun kita, dalam pandangan ibu, tak lebih hanya seorang anak yang ia lahirkan, ia besarkan, ia didik, dan tentu saja: ia cintai.
Karena itu, ikutilah apa yang ibu nalarkan tentang diri kita. Jangan berusaha untuk ‘menaikkan’ posisi kita seolah kita bukan seperti yang ibu pikirkan. Karena hal itu mungkin akan menjatuhkan wibawanya sebagai ibu.
Ikuti nalar ibu kita yang mulia, bahwa kita tak lebih hanya seorang anaknya yang ia lahirkan, ia didik, dan besarkan dalam segala daya upayanya. [Mh]





