HIDUP sederhana itu tidak selalu karena keadaan. Banyak ulama yang justru sangat menikmati kesederhanaan.
Tentang ulama salaf yang hidup sederhana mungkin hal biasa. Tapi, bagaimana jika yang seperti itu justru ulama yang hidup di tengah gelimang kemewahan masa kini.
Sosok itu adalah KH Agus Salim, seorang pahlawan dan aktivis Indonesia. Para pemimpin Belanda menyebutnya dengan The Grand Old Man: Orang Tua yang Melegenda. Perjalanan hidupnya begitu menginspirasi banyak aktivis Indonesia.
Mungkin orang tak percaya kalau nama yang kita kenal itu bukan aslinya. Nama itu merupakan sebutan dari teman-temannya saat masih sekolah menengah di Surabaya. Karena orang tuanya tokoh, maka teman-temannya memanggilnya Gus. Dan karena nama ayahnya diakhiri kata Salim, maka teman-temannya pun menyebut Gus Salim yang akhirnya menjadi Agus Salim.
Nama aslinya Masyhudul Haq atau Pejuang Kebenaran. Lahir di Koto Gadang tahun 1884. Ia beruntung bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda karena sang ayah yang bekerja di Kejaksaan Belanda di Indonesia.
Haji Agus Salim bisa dibilang jenius. Ia mampu menguasai 9 bahasa dengan belajar secara mandiri. Bahasa yang ia kuasai antara lain Belanda, Inggris, Arab, Jerman, Jepang, Turki, dan lainnya.
Tidak heran jika pemimpin Belanda di Indonesia memberikan posisi pekerjaan yang mapan. Antara lain, sebagai penerjemah dan juga sebagai anggota intelijen elit.
Untuk posisi yang terakhir itulah, justru Haji Agus Salim bertemu dengan Haji Oemar Said Cokro Aminoto, pendiri Sarikat Islam: seorang ulama yang juga pejuang kemerdekaan.
Awalnya ia masuk ke SI karena untuk memata-matai SI, justru menjadi pengikut militan dari HOS Cokro Aminoto. Ia banyak belajar dari guru Bung Karno ini.
Haji Agus Salim pun mundur dari semua jabatan di pemerintah Belanda di Indonesia. Ia memulai pergerakan untuk kemerdekaan Indonesia seperti yang ia pelajari dari gurunya itu.
Setelah merdeka, begitu banyak anak-anak muda potensial yang belajar darinya. Antara lain, Muhammad Natsir yang juga pemimpin Indonesia dan pendiri Dewan Dakwah, juga Mr. Mohammad Roem yang juga seorang diplomat seperti gurunya itu.
Jangan coba-coba berdebat dengan Haji Agus Salim. Dengan bahasa apa pun, ia akan selalu menang.
Seorang atasannya yang Belanda pernah menyindirnya, “Kamu merasa orang yang paling pintar?”
Haji Agus Salim menjawab, “Ya tidak. Masih banyak orang yang lebih pintar dari saya. Tapi sejauh ini, saya belum pernah bertemu dengan mereka!”
Ada sebuah pertanyaan ‘nyeleneh’ yang ia lontarkan kepada seorang guru ngaji: “Apakah Adam dan Hawa punya pusar?”
Sang guru ngaji merasa pertanyaan anak muda ini tidak bermutu. Ia pun menjawab, “Ya ada lah. Adam dan Hawa kan juga manusia seperti kita.”
Agus Salim berkilah, “Setahu saya pusar itu organ yang Allah ciptakan untuk penghubung atau penyuplai makanan dari ibu ke janin. Bukankah Adam dan Hawa tak pernah dilahirkan!”
Spontan, sang guru ngaji kelabakan dengan ucapan Haji Agus Salim itu.
Hidup Sederhana
Bagian inilah yang paling menarik dari Haji Agus Salim. Sejak ia mundur dari segala jabatan yang diberikan pemerintah Belanda, ia begitu menikmati hidup sederhana.
Sejak itu, ia tak pernah memiliki rumah. Ia tinggal berpindah-pindah di kawasan Jakarta sebagai ‘kontraktor’ alias ngontrak. Kontrakan yang ia tinggali berada di gang-gang sempit di kawasan Tanah Abang, Jatinegara, Petamburan, dan lainnya.
Pernah suatu kali, ada tamunya yang prihatin dengan rumah Haji Agus yang bocor besar. Tapi, istrinya yang bernama Zaitun Nahar bergegas mengambil ember mewadahi tumpahan air.
Haji Agus Salim pun mengajak anak-anaknya bermain perahu-perahuan kertas di atas air di ember wadah bocoran itu. Dari pernikahan ini, Allah menganugerahinya 11 orang anak.
Ketika menjadi diplomati RI di dunia internasional, kiprahnya begitu fenomenal. Bahkan, dunia mengakuinya sebagai diplomat pertama RI yang dikenal dunia sebagai The Grand Old Man.
Haji Agus Salim bukan berlatar belakang orang miskin. Ia dan keluarganya adalah orang kaya. Kiprah dan jabatannya di republik ini juga bukan abal-abal. Haji Agus Salim adalah satu dari sembilan orang yang merumuskan pembukaan UUD 1945, pernah menjadi Menlu, diplomat, dan lainnya.
Namun, di akhir hayatnya, pada 4 November 1954, ia wafat di rumah kontrakan di gang sempit di kawasan Jakarta. Masya Allah.
**
Dunia itu manis dan menggiurkan. Ia bisa menggoda siapa pun yang mendekatinya. Tanpa ‘pandang bulu’: paham agama atau tidak.
Untuk banyak ulama dan aktivis memandang bahwa dunia itu hanya tempat singgah sesaat. Seperti itulah yang pernah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemuliaan seseorang ternyata memang bukan pada apa yang ia punya dan tahu. Melainkan pada apa yang ia kerjakan. [Mh]


