BELAJAR memahami banyak hal tidak hanya dari kajian. Dari peristiwa alam, kisah, bahkan dalam keseharian pun bisa diambil pelajaran. Termasuk dari peristiwa kematian.
Saat dalam kendaraan, umum atau pribadi, kadang terdengar suara sirine ambulan. Suaranya meraung-raung menyayat hati.
Pertanyaannya, kenapa ambulan harus memperdengarkan sirine seperti itu? Jawaban sederhananya untuk menandakan bahwa ada mobil ambulan mau lewat.
Dengan cara itu, kendaraan di depannya bisa mengalah dan menepi atau melambatkan laju kendaraannya. Biarkan ambulan lewat lebih dahulu.
Jawaban yang lebih dalam lagi, dengan suara sirine yang menyayat hati itu ditandakan bahwa kematian itu duka. Sedih.
Duka dan sedih untuk keluarga korban yang ikut mengantar. Juga, untuk si jenazah karena itulah momen terakhir keberadaannya di alam dunia.
Ia harus disegerakan untuk memasuki alamnya yang baru. Yaitu, alam kubur yang merupakan pintu gerbang ke alam akhirat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah kematian sebagai nasihat. Cukuplah keyakinan sebagai kekayaan. Dan cukuplah ibadah sebagai kesibukan.” (HR. Ahmad)
Kematian itu sebagai nasihat. Hal ini baru bisa dirasakan jika kematian bukan sebuah peristiwa biasa. Tapi sebagai pos akhir yang akan dialami setiap orang. Termasuk pengendara lain yang dilewati ambulan.
Jadi, para pengendara bukan sekadar menepi dan menghormati jenazah. Tapi untuk sesaat bermuhasabah bahwa esok, pekan depan, bulan depan, tahun depan; atau sesaat lagi mungkin ia yang akan berada dalam ambulan.
Nasihat itu mengatakan, cukup banyak sudah dosa yang telah dilakukan. Saatnya untuk bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. [Mh]