BEDA fikih itu biasa. Karena fikih merupakan cabang dari ajaran agama. Bukan hal yang pokok.
Entah siapa yang mulai dan kenapa dimunculkan, media sosial kembali diramaikan dengan perbedaan tentang fikih.
Ada perbedaan qunut atau tidak, perbedaan sistem hisab dan ru’yah, perbedaan batas busana muslimah, dan seterusnya.
Sejatinya perbedaan ini tidak perlu lagi dipersoalkan. Selama masing-masing memiliki dalil Al-Qur’an dan Sunnah, maka sah-sah saja terjadi perbedaan.
Tentang mana yang lebih diyakini kebenarannya, akhirnya kembali ke diri masing-masing individu. Yang penting adanya saling menghormati dalam perbedaan itu.
Di masa Nabi hal itu pernah terjadi. Sebuah pasukan kecil diminta Nabi untuk memantau benteng Yahudi Bani Quraizhah, masih di kawasan Madinah saat ini.
Karena belum sampai keluar Kota Madinah, diperkirakan perjalanan hanya tiga hingga empat jam saja. Mereka berangkat selepas Shalat Zuhur.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan agar shalat Ashar dilakukan setibanya di lokasi. Boleh jadi hal ini dimaksudkan agar lebih fokus pada perjalanan dan tidak banyak memakan waktu untuk berhenti dan istirahat.
Kegusaran di tengah pasukan terjadi ketika sudah sangat sore tapi mereka belum juga tiba di lokasi. Bagaimana dengan shalat Asharnya?
Akhirnya, sebagian pasukan memutuskan untuk shalat Ashar. Sebagian yang lain tetap konsisten dengan pesan Nabi untuk melaksanakan shalat di Ashar di lokasi tujuan.
Sepulangnya ke Madinah, hal tersebut disampaikan ke Nabi. Tapi, Nabi tidak mempersoalkan hal tersebut. Dua ijtihad itu tidak ada yang disalahkan.
Ulama menilai, hal ini karena yang shalat Ashar sebelum tiba di lokasi punya dalil, dan yang menunda hingga di lokasi juga punya dalil. Jadi, perbedaan itu tidak perlu dipermasalahkan.
Di masa Nabi masih ada saja sudah terjadi perbedaan dalam fikih, terlebih lagi di masa kita sekarang. Tentu akan lebih banyak lagi perbedaan.
Patokannya adalah selama perbedaannya masih dalam cabang-cabang agama seperti fikih, dan ada dalilnya, maka hal itu biasa saja.
Lain halnya jika perbedaannya pada hal yang pokok, seperti tentang akidah. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad wafat, maka hal itu sudah di luar batas kewajaran.
Dan satu sama lain sebaiknya menahan diri untuk tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan fikih itu. Tidak juga menunjukkan bahwa dalil yang dimilikinya lebih kuat dari yang lain.
Rasanya, Islam diturunkan bukan untuk hal-hal itu. Melainkan, untuk melahirkan ketundukan yang sempurna kepada Allah, dan penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Bersabarlah dalam perbedaan dan bekerjasamalah dalam hal yang telah disepakati bersama. Yang paling mulia dalam umat ini adalah mereka yang paling bertakwa. [Mh]