ChanelMuslim.com- Bahagia itu relatif. Bahagia itu selalu dicari dan dikejar. Bahagia itu bisa sangat jauh. Dan bahagia itu bisa juga sangat dekat.
Orang desa ingin kota. Alasannya ingin mencari bahagia. Sebaliknya, orang kota ingin ke desa. Alasannya juga karena ingin bahagia.
Orang miskin ingin menjadi kaya. Alasannya ingin merasakan bahagia. Sebaliknya, orang kaya ingin hidup sederhana. Alasannya juga karena ingin merasakan bahagia.
Para lajang ingin segera menikah. Alasannya ingin hidup bahagia. Tapi tidak sedikit yang sudah menikah ingin bercerai. Alasannya juga karena ingin bahagia.
Bahagia sepertinya ditafsirkan sebagai sesuatu yang belum dirasakan. Sebaliknya yang sering atau biasa dirasakan menjadi bukan yang membahagiakan.
Bahagia juga ditafsirkan sebagai terpenuhinya segala kebutuhan. Padahal, manausia mana yang merasa bahwa kebutuhannya sudah terpenuhi.
Tidak heran jika bahagia selalu menjadi sesuatu yang dicari, dikejar, dan diperjuangkan. Ke arah bahagia yang dikejar itulah manusia bergerak, meskipun akan menghabiskan seluruh jatah hidupnya. Ke arah bahagia itulah manusia rela bertarung, meskipun terhadap sesamanya sendiri.
Bahagia, oh bahagia. Di manakah engkau berada? Sejauh itukah bahagia berada sehingga harus terus dikejar dan dikejar. Sesulit itukah bahagia diraih sehingga harus melalui pertarungan.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, Jika iman dan Islam sudah ada dalam diri seseorang. Rezeki pun sudah Allah cukupkan, dan ia pun merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Maka ia menjadi orang paling beruntung.” (HR. Muslim)
Bahagia itu adalah rasa syukur itu sendiri. Yaitu merasakan bahwa apa yang telah ia terima dari Allah merupakan yang terbaik, meskipun orang lain menilainya sangat kurang.
Bersyukurlah dengan semua yang Allah berikan, sekecil apa pun anugerah itu. Saat itulah, kita menjadi orang yang paling bahagia. [Mh]