TAHUN baru akhirnya tiba lagi. Ada seremonial, ada pesta, ada harapan. Tapi, jarang yang menyiapkan arah tahun barunya.
Tahun baru dimaknai banyak hal. Ada yang sekadar menjadikan tahun baru sebagai momen pesta-pesta. Terutama pada permulaan malamnya.
Lihatlah di pasar-pasar, mal, jalan-jalan raya, hingga suasana kampung sekali pun. Berbagai pernak-pernik ‘pesta’ terpajang. Mulai dari jagung, ayam potong, ikan, dan perlengkapan bakar-bakarnya.
Suasana pasar penuh sesak. Seolah malam ini sebagai momen terakhir yang tak boleh dilewatkan untuk meraih senang dan bahagia.
Hiasan aneka kembang api pun siap mengantarkan warga kota menuju awal tahun baru di malam harinya. Mereka seperti semut yang berkeliling di sekitaran gula.
Untuk yang berkantong lebih tebal, berbagai hotel dan vila menjadi buruan. Mereka tak peduli dengan harga. Yang penting, bisa melepas nafsu untuk aneka pesta.
Untuk para rezim korup di negara mana pun, awal tahun baru setidaknya bisa membuat mereka istirahat sejenak dari intaian sorotan rakyatnya.
Pertanyaannya, apa yang ingin diperoleh dari awal tahun baru? Mungkin ada yang menjawab: harapan. Harapan agar keadaan di masa depan bisa lebih baik dari hari-hari yang telah dilewatkan.
Pertanyaan berikutnya, harapan itu ditujukan kepada siapa? Bukankah semuanya tidak ada yang baru, kecuali hanya tahunnya.
Presidennya lama, pemerintahnya lama, kebijakannya lama, tatanan sosial dan politiknya pun masih yang lama.
Kalau variabel penentu perubahan tidak ada yang baru, sekali lagi, kemana harapan baru itu ditujukan? Karena perubahan tidak terjadi dengan sendirinya. Apalagi perubahan yang lebih baik.
Mungkin sebagian orang menjawab bahwa penentunya diri sendiri. Harapan pun menjadi seperti fatamorgana yang sangat bergantung pada subjek yang memandangnya.
Jawaban yang lebih tinggi dan berkualitas adalah tertuju pada Allah subhanahu wata’ala. Seolah bahwa ‘ritual’ malam tahun baru seperti doa akbar agar harapan baik bisa dikabulkan.
Jawaban ini seperti mengaliri strum listrik dengan menggunakan tali rapia. Sebagus apa pun talinya, tak mungkin strum listrik bisa mengalir, karena memang bukan medianya.
Bagaimana mungkin sebuah doa akbar bisa dikabulkan dengan cara non agama, kalau tidak mau disebut jahiliah. Secuil pun tak ada bimbingan ilahiah bahwa merayakan pesta awal tahun baru sebagai cara memanjatkan doa dan harapan.
Terlebih lagi pestanya tak mencerminkan nilai-nilai agama yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Umat Islam saat ini seperti orang yang tak memiliki rumah. Tak juga memiliki kepala keluarga. Kita tak ubahnya seperti dalam bidikan eksploitasi pihak-pihak dari kelompok lain.
Arah langkah kita pun digiring hanya untuk keuntungan mereka. Siapa yang untung dari belanja aneka pesta tahun baru kita. Produk sosial dan budaya siapa yang kita adopsi untuk tahun baru kita.
Namun, tahun baru tentu bukan tanpa makna. Allah pergantikan waktu agar kita bisa memaknai perjalanan hidup kita.
Apakah hari esok akan lebih baik dari hari ini. Atau jangan-jangan, hari kemarin lebih baik dari hari ini dan esok.
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah memberi nasihat: haasibuu qabla an tuhaasabuu. Muhasabahilah diri kita masing-masing, sebelum Allah kelak akan menghisab diri kita. [Mh]