ChanelMuslim.com- Allah mengharapkan kita beramal dengan ahsan, dengan yang terbaik. Sebagaimana, Allah memberikan yang terbaik untuk kita.
Ahsan adalah bentuk superlatif dari hasanun. Artinya yang terbaik. Yang istimewa. Bukan yang biasa saja. Apalagi hanya sekadarnya.
Hal itu disampaikan dalam Al-Qur’an di beberapa ayat yang terpisah. Antara lain dalam Surah Al-Mulk ayat 2. “(Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapakah di antara kalian yang amalnya ahsan.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata ahsan mencakup dua hal. Pertama dari niatnya. Yaitu, diniatkan tulus karena Allah subhanahu wata’ala. Bukan karena apa dan siapa, selain Allah.
Kedua, dari kaifiyahnya atau tatacaranya. Dari segi ini, amal harus sesuai dengan yang diajarkan dan diteladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Secara teori, amal yang ahsan terlihat sederhana. Yaitu, ikhlas dan sesuai tuntunan sunnah. Tapi dalam pelaksanannya, amal ahsan itu butuh kesungguhan yang luar biasa. Sebuah kesungguhan yang didorong demi meraih ridha Allah.
Karena dari pelaksanan itu pula, selalu ada pilihan-pilihan. Mau yang sederhana, silakan. Mau yang super, silakan. Mau yang istimewa, juga silakan.
Lemahnya hubungan historis antara generasi saat ini dengan kehidupan Rasulullah, para sahabat, dan tabi’in; seperti memutus kontak batin antara kita dengan mereka. Sebuah kontak batin untuk beramal dengan pilihan yang selalu istimewa.
Sebagian saat ini, lebih merujuk pada standar minimal. “Yang penting kan sah. Apalagi cuma amalan sunnah!” Dan yang lebih parah dari itu juga ada, “Yang penting wajibnya aja. Yang sunnah kan nggak papa kalau nggak dikerjakan!”
Pertanyaannya, kalau selalu dengan yang minimal; Anda mau masuk surga yang seperti apa? Karena tidak ada surga dengan standar minimal, alias asal tidak masuk neraka.
Ada juga yang berpikiran, “Yang penting kan ridha Allah. Biar amal kita sedikit, tapi kalau Allah ridha, kan masuk surga juga!”
Masalahnya, apakah pikiran-pikiran seperti itu bisa bersentuhan dengan ridha Allah. Apa ridha Allah bisa diharapkan datang hanya dengan mutu amal yang sekadarnya.
Perhatikanlah historis kehidupan Nabi dan para sahabat serta tabi’in dalam amal ahsan mereka. Ketika masih di awal-awal, mereka sudah diperintahkan untuk qiyamul lail separuh dari waktu malam. Bahkan, lebih baik jika ditambahkan lagi.
Bayangkan, Nabi dan para sahabat yang begitu terjamin shalehnya, diminta untuk shalat malam selama enam jam atau lebih. Dan para sahabat tidak mengeluh. Meski kehidupan ekonomi dan keamanan waktu itu masih belum memadai di banding kita saat ini.
Masjid mereka tidak ber-ac. Tidak ada karpet tebal yang hangat saat diinjak dan diduduki. Tidak ada pengeras suara sehingga suara imam terdengar begitu jelas dan menyentuh hati.
Bayangkan jika kita pada posisi sahabat bernama Abdullah bin Amru bin ‘Ash saat dibimbing Nabi dalam khatam Al-Qur’an. Nabi mengatakan, khatamkanlah Al-Qur’an satu bulan sekali.
Abdullah menjawab, Aku bisa lebih cepat dari itu ya Rasulullah. Nabi melanjutkan, khatamkanlah tiga pekan sekali. Abdullah menjawab, Aku bisa lebih cepat dari itu ya Rasulullah. Khatamkanlah dua pekan sekali… hingga akhirnya Nabi menyebut tiga hari sekali.
Namun lagi-lagi, Abdullah menjawab, Aku bisa lebih cepat dari itu Ya Rasulullah.
Bayangkan jika kita di posisi Abdullah saat itu. Ucapan Nabi boleh jadi seperti beban yang luar biasa. Tapi bagi seorang sahabat Nabi yang terlatih dengan amal yang ahsan, seperti Abdullah, saran mulia dari Nabi itu justru telah ia lampaui sebelumnya.
Jangan lagi-lagi kita katakan, “Yah, khatam Qur’an kan tidak wajib. Yang penting baca!”
Bagaimana mungkin kita mengharapkan ridha Allah yang berarti balasan surgaNya, hanya dengan semangat amal yang sekadarnya. Dan parahnya lagi, kadang ditopang dengan dalih, “Yang penting kan wajibnya nggak ditinggalin!” [Mh]