ALKISAH di sebuah kampung, ada seorang anak bernama panggilan Bewe. Ya, seperti itulah ia selalu dipanggil oleh teman-temannya. Entah nama panjangnya siapa.
Yang menonjol dari Bewe adalah kepiawaiannya bermain sepak bola. Ia begitu lincah menggocek lawan-lawan bermainnya. Kemahirannya begitu alami.
Namun, mungkin karena namanya yang tidak lazim, teman-temannya sering memanggilnya dengan candaan: We…!
Sungguh pun sering dipanggil-panggil dengan nada celaan, Bewe tidak pernah tersinggung. Ia tetap tersenyum. Dicela atau tidak, wajahnya tetap ‘manis’: full senyum.
Bewe masih sekolah dasar. Anaknya rajin. Di banding teman-temannya sepermainan sepak bola, mungkin Bewe yang paling kurang beruntung dalam hal ekonomi.
Di kampung itu, ia tidak tinggal di rumah keluarganya. Ia menetap di sebuah agen toko kelontong di mana kakaknya bekerja. Jadi, ia hanya menumpang.
Kalau pulang sekolah, ia biasa membantu-bantu sang kakak sebagai kuli. Memindah-mindahkan barang-barang ringan yang bisa ia angkat.
Tapi tetap saja, di mana pun orang mengenal namanya, orang akan tergelitik untuk mencadainya: “We, sini We!”
Lagi-lagi, Bewe tak pernah tersinggung. Ia selalu menimpali candaan itu dengan senyum akrab dan legowo.
Ada seorang temannya yang tertarik untuk menanyakan: kenapa Bewe tidak pernah tersinggung?
Dengan ringan Bewek menjawab, “Saya sudah terbiasa dihina, mungkin sudah kebal kali ya!” Itu pun ia jawab dengan juga sambil tersenyum.
**
Tak banyak orang yang akrab dengan hinaan. Kalau tidak marah, setidaknya orang akan tersinggung dan kemudian cemberut.
Padahal, dalam pergaulan sehari-hari, hinaan, candaan yang agak melecehkan bisa dibilang sudah lazim.
Mungkin rahasia kebalnya sederhana: menganggap diri tidak sepantasnya untuk dipuji-puji dan dimuliakan.
Seperti yang diucapkan Si Bewe: saya sudah biasa dihina. Ia menjawab itu dengan senyum dan tanpa beban. Juga tanpa sebuah penyesalan.
Andai kita bisa belajar untuk bisa seperti Si Bewe. [Mh]