ChanelMuslim.com – Assalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izin bertanya, Bunda Rosa. Di tengah pandemi agak repot untuk menikah secara resmi terkait protokol kesehatan dan lain-lain. Bagaimana nikah siri di tengah pandemi menurut hukum negara?
Oleh: Rosalita Chandra, S.H, M.H.
Jawaban:
Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama namun tidak dilakukan di hadapan pegawai pemerintah yang berwenang. Lalu tidak dicatatkan juga di Kantor Urusan Agama dikenal dengan istilah nikah siri atau nikah di bawah tangan.
Nikah siri juga kerap diistilahkan dengan perkawinan yang tidak sah. Karena dilakukan tidak di hadapan pegawai pencatat nikah dan tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama tempat ijab kabul dilakukan.
Istilah perkawinan yang tidak sah ini sering disematkan pada nikah siri dengan mendasarkan pada ketentuan hukum sebagai berikut:
- UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Kompilasi Hukum Islam
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Padahal jika merujuk pada dasar hukum di atas, nikah siri harus dipandang juga sebagai pernikahan yang sah. Terutama menurut hukum agama karena terpenuhi syarat dan rukunnya. Namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama sehingga negara akan menganggap perkawinan itu tidak pernah ada.
Saya sendiri lebih menyukai untuk menggunakan istilah ‘perkawinan yang belum tercatat secara hukum’.
Baca juga: Perlukah Perjanjian Pranikah Sebelum Ijab Kabul?
Nikah Siri Bukan Solusi
Saya tidak menganjurkan Anda untuk melakukan nikah siri sebagai solusi di masa pandemi. Menurut pendapat saya, pernikahan adalah salah satu tanda pembuktian siap menanggung hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Tanggung jawab mana ‘dideklarasikan’ secara tegas dan terang-terangan di hadapan keluarga dan negara. Sehingga mengikat suami istri baik menurut hukum agama maupun hukum positif.
Dengan demikian, calon suami istri akan benar-benar menyadari dan memahami konsekuensi dari pernikahan yang mengikat mereka yaitu:
- Menjalankan segala hak dan kewajibannya berdasarkan ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut akan dimintakan pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
- Menjalankan segala hak dan kewajibannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Antara lain tunduk pada UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019 beserta peraturan pelaksananya dan Kompilasi Hukum Islam.
Konsekuensi Pernikahan
Selain itu, setidaknya ada beberapa konsekuensi yang perlu menjadi perhatian bagi calon suami istri yang akan melakukan pernikahan siri atau perkawinan yang belum tercatat secara hukum.
Baca juga: Kewajiban Menafkahi Anak dalam Pernikahan Siri
Pertama
Walaupun pernikahan siri sah menurut hukum agama Islam sepanjang syarat dan rukunnya dipenuhi, namun jika tidak dicatatkan kepada petugas pencatat nikah yang berwenang di Kantor Urusan Agama.
Maka menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, pernikahan tersebut akan dipandang tidak pernah ada dan karenanya tidak diakui secara hukum. Hal ini berakibat pada status suami, istri dan anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri.
Jika pernikahannya saja dianggap tidak ada, maka status dan hubungan hukum antara suami istri dan anak-anak juga tidak dapat saling berkait. Sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak dalam pernikahan siri.
Kedua
Adalah konsekuensi yang menurut pandangan saya paling berat dan paling merugikan, yang berlaku terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam pernikahan siri.
Kedudukan anak-anak tersebut akan dipandang sebagai anak tidak sah atau anak luar kawin yang hanya memiliki keterikatan dan hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya saja, tidak dengan ayahnya.
Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang telah diubah dengan UU No 16 Tahun 2019 sebagai berikut:
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ada beban moral yang harus ditanggung oleh anak-anak akibat pernikahan siri orangtuanya dengan label anak tidak sah atau anak luar kawin tersebut. Saya sendiri sangat tidak setuju dengan label ini dan lebih baik menggunakan istilah ‘anak biologis, anak kandung atau anak yang diakui’.
Ketiga
Tidak terpenuhinya hak anak atas dokumen kependudukan yang baik dan benar. Terutama dalam akte lahir yang pencantuman nama ayah dilakukan berdasarkan buku nikah suami istri.
Terlebih jika mendaftar sekolah atau keperluan lainnya, hak anak akan sulit dipenuhi akibat akte lahir yang hanya mencantumkan nama ibu dan tidak ada buku nikah suami istri.
Keempat
Akibat status hukum yang tidak tercatat, maka suami istri dan anak-anak dalam pernikahan siri tidak dapat saling mewaris menurut peraturan perundangan. Kecuali antara Ibu dengan anak-anaknya yang dilahirkan, hubungan hukum ini tetap diakui negara sehingga mereka dapat saling mewaris.
Situasi seperti ini berpotensi menyebabkan kezholiman dalam pembagian harta warisan kelak. Jika merujuk pada sahnya status perkawinan menurut hukum agama, maka seharusnya mereka dapat saling mewaris. Terutama antara ayah dengan anak-anak, atau suami dengan istri.
Namun jika merujuk pada peraturan perundangan, apabila perkawinan dianggap tidak ada karena tidak tercatat, maka hubungan hukum suami istri dan anak-anak juga dianggap tidak ada dan tidak dapat saling mewaris.
Jika nantinya terjadi sengketa dalam pembagian waris, maka prinsip dasarnya Pengadilan Agama hanya akan membagi harta waris kepada ahli waris yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Kesimpulan
Sebaiknya hindari menikah siri dengan alasan apapun. Cinta tidak cukup dibuktikan hanya dengan kata-kata, janji-janji dan kebersamaan belaka.
Cinta harus dibuktikan pula secara terang-terangan, salah satunya yaitu dengan mencatatkan perkawinan di KUA, menempatkan istri dan anak-anaknya kelak dalam status hukum yang sah dan tercatat, baik menurut hukum agama mapun hukum negara. [Wnd]