SAAT ini, banyak terjadi perceraian atau gugat cerai dengan alasan yang tampaknya sepele. Seperti tersinggung dengan perkataan suami, tidak mendapat perhatian yang cukup dari pasangan atau hanya sekadar berbeda pandangan dalam menjalankan rumah tangga.
Apakah bisa alasan-alasan tersebut menjadi dasar menggugat perceraian ke pengadilan?
Praktisi Hukum Rosalita Chandra, S.H., M.H. menjawab bahwa sesungguhnya tidak semudah itu menggugat perceraian ke pengadilan.
Sebab hakim harus benar-benar mendapat keyakinan bahwa suami istri tersebut sudah tidak akan dapat didamaikan dan hidup rukun dalam perkawinan.
Hal tersebut disyaratkan secara tegas dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Hukum perkawinan di Indonesia, juga telah menentukan secara rinci alasan-alasan perceraian yang dapat diajukan ke pengadilan.
baca juga: Hukum Asal Gugat Cerai Istri dan Keadaan Apa yang Membolehkan Gugatan Dilakukan
Gugat Cerai dengan Alasan Sepele, Ini Penjelasan Praktisi Hukum
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:
1- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6- Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Bagi pemeluk agama Islam yang mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama, terdapat alasan-alasan perceraian yang diatur secara khusus dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai berikut.
1- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2- Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6- Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7- Suami menlanggar taklik talak;
8- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Terhadap perceraian yang diajukan ke pengadilan, hakim akan memeriksa dengan seksama hingga mendapat keyakinan bahwa satu atau beberapa alasan perceraian di atas terjadi antara suami istri.
Alasan yang kerap dianggap sepele seperti pertanyaan diatas, tidak bisa serta merta menjadi dasar dikabulkannya perceraian.
Hakim akan meninjaunya sebagai hal-hal yang mengakibatkan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selain itu, pengajuan perceraian ke pengadilan juga wajib didahului dengan proses mediasi antara suami istri.
Proses mediasi ini ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Jadi tidaklah semudah itu mengajukan perceraian dan langsung dikabulkan oleh hakim di pengadilan.
Ada prosedur yang harus dilalui, dapat meyakinkan hakim dengan bukti-bukti yang valid dan terdapat upaya hukum juga yang masih bisa dilakukan jika salah satu pihak tidak menerima putusan pengadilan.
Adapun upaya terbaik untuk dapat menyelamatkan perkawinan dari perceraian adalah menentukan dan menyepakati kembali secara bersama-sama mengenai tujuan perkawinan yang ingin dicapai.
Apalagi jika sudah ada anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Selanjutnya, suami istri dapat melakukan konseling pernikahan kepada orang yang ahli di bidangnya.
Bukan sekadar curhat kepada orang yang tidak ahli dan tidak memiliki ilmunya untuk memberikan solusi.
Sebab permasalahan orang dalam perkawinan tentu berbeda-beda sehingga tidak dapat disamakan dengan teman atau keluarga yang telah memiliki pengalaman bercerai.
Setidaknya suami istri dapat mengulang kembali ingatan dan tekad bahwa perkawinan yang dilakukan semata-mata untuk menjadi ladang ibadah demi mendapatkan cinta Allah Subhanahu wa taala, bukan cintanya manusia.
Dan anak-anak yang telah dilahirkan ke dunia (tanpa mereka minta dan tanpa persetujuannya) adalah amanah dan investasi akhirat yang tak tergantikan.
Anak-anak yang sholeh kelak akan menjadi tabungan pahala bagi orang tuanya di alam kubur.
Demikian jawaban kami, yang ditujukan hanya untuk kepentingan pendidikan keluarga atas isu-isu hukum dan bukan merupakan pendapat atau nasihat hukum yang diberikan dalam rangka hubungan antara Advokat dengan Klien.
Materi pada tulisan ini terdapat kemungkinan tidak berlaku atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang ada akibat peraturan perundangan yang berubah atau dinyatakan tidak berlaku, sehingga tetap diperlukan penelusuran peraturan perundangan untuk memastikan keberlakuan hukumnya secara tepat.
Semoga bermanfaat.[ind]