Hijrah ke Mekah
FATIMAH mengajak putranya hijrah ke Mekah. Ia dan putranya tinggal di sebuah perkampungan di Al-Khaif yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Fatimah.
Tujuan utama Fatimah hijrah ke Mekah bukanlah sekadar ingin mendekatkan tempat tinggalnya dengan keluarga besarnya yang lain. Melainkan, untuk mendekatkan para ulama besar dengan putranya, antara lain Sufyan bin ‘Uyainah. Beliau salah seorang pakar hadis di Mekah.
Di Mekah, Imam Syafi’i juga belajar dengan Muslim bin Khalid Az-Zanji. Beliau salah seorang ahli fikih.
Fatimah mengantar sendiri Imam Syafi’i kecil menemui para ulama itu. Ia menjelaskan bahwa ia tak memiliki harta untuk bisa membayar para guru. Saat itu usia Imam Syafi’i masih di bawah 10 tahun.
Belajar Kitab Hadis Al-Muwatha’ Imam Malik
Melalui para guru di Mekah, Imam Syafi’i kecil belajar kitab hadis Al-Muwatha’ yang disusun Imam Malik.
Sedemikian kuatnya dorongan Fatimah, hingga dalam waktu cepat, Imam Syafi’i mampu menghafal kitab yang berisi ribuan hadis itu. Saat itu usia Imam Syafi’i sepuluh tahun.
Cara Fatimah begitu menarik. Pernah ia menutup pintu rumah agar Imam Syafi’i tidak keluar rumah, dan bisa fokus belajar dan menghafal.
Hijrah ke Madinah
Di usia 13 tahun, Fatimah meminta Imam Syafi’i untuk hijrah ke Madinah. Ia diminta untuk menemui ulama besar saat itu yang bernama Imam Malik. Nama yang tidak asing bagi Imam Syafi’i karena kitab Al-Muwatha’nya.
Fatimah meminta putranya untuk tidak pulang kecuali setelah membawa banyak ilmu.
Ada kalimat menarik yang diucapkan Fatimah kepada putranya itu. “Jangan kau pulang sebelum membawa banyak ilmu,” ucapnya.
“Bagaimana kalau aku ingin bertemu ibu?” ucap Imam Syafi’i. Fatimah pun mengatakan lagi, “Kita bertemu nanti di akhirat!”
Begitulah Fatimah. Ia tidak main-main memotivasi putranya untuk terus belajar dan belajar.
Imam Malik Terpesona dengan Imam Syafi’i
Metode pengajaran Imam Malik adalah dengan membacakan dan mengulas hadis-hadis yang ia susun dalam satu kitab. Kitab itu bernama Al-Muwatha’. Isinya ribuan hadis.
Karena tidak memiliki uang untuk membeli buku dan pena, Imam Syafi’i hanya menulis dengan pena dan buku catatan khayalan. Ia menulis dengan jari telunjuk ke telapak tangan kirinya dengan tinta air liur lidahnya sendiri. Begitu terus ia lakukan.
Dengan cara itu, Imam Syafi’i kecil belajar dengan keadaan yang lain dari murid-murid yang lain. Lama-lama, hal itu menjadi perhatian sang guru.
“Apa yang kamu lakukan?” begitu kira-kira ucapan Imam Malik kepada Imam Syafi’i kecil. Karena pemandangan aneh itu tampak seperti “pelecehan” dalam suasana ta’lim.
Setelah dijelaskan, Imam Malik akhirnya paham. Ia pun menjadi begitu prihatin dengan keadaan muridnya itu. Imam Malik mengajak Imam Syafi’i ke rumah Imam Malik. Ia dipersilahkan gurunya untuk membaca sendiri isi kitab Al-Muwatha’ di sebuah ruangan.
Hal ini menjadi kesempatan Imam Syafi’i untuk menguasai dan menghafal habis semua isi kitab itu.
Kemampuan luar biasa itu kian membuat Imam Malik meyakini bahwa muridnya ini bukan anak biasa. Suatu saat, ia begitu yakin kalau Imam Syafi’i akan menjadi ulama besar.
Tidak heran jika ada murid-murid lain yang bertanya tentang hadis nomor sekian dan sekian yang masih belum jelas, Imam Malik langsung menunjuk ke Imam Syafi’i. “Silahkan tanya ke dia,” ucap Imam Malik.
Pada usia 15 tahun, Imam Malik memberikan ijazah kepada Imam Syafi’i. Di usia itu, Imam Syafi’i sudah diizinkan untuk memberikan fatwa. Padahal, Imam Syafi’i baru sekitar dua tahun belajar dengan Imam Malik.
Pulang Menemui Ibunya
Seperti ucapan Fatimah, Imam Syafi’i diminta untuk tidak pulang sebelum membawa ilmu yang banyak. Imam Syafi’i baru merasa bisa pulang menemui ibunya setelah Imam Malik wafat di tahun 179 Hijriyah. Usia Imam Syafi’i waktu itu sekitar 29 tahun.
Imam Syafi’i akhirnya bisa pulang menemui ibunya di Mekah. Ia mungkin kasihan dengan ibunya yang hidup miskin. Maka, ia bawakan sejumlah harta: beberapa ekor unta dan barang-barang lain.
Mendapati itu, Fatimah bukannya malah senang. Ia mengusir Imam Syafi’i dengan keras. “Bukan untuk ini aku menyuruhmu pergi. Jangan pulang sebelum membawa ilmu yang banyak!” ucapnya sambil menutup pintu.
Imam Syafi’i pun panik. Ia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Ia pun membagi-bagikan unta dan barang-barang yang ia bawa untuk orang-orang di sekitar Mekah. Hanya kitab-kitab yang ia sisakan untuk diperlihatkan ke ibunya tercinta.
Benar saja. Hanya dengan memperlihatkan kitab-kitab itulah, pintu rumah untuk kedatangan Imam Syafi’i baru bisa dibuka oleh Fatimah. Masya Allah! [Mh]