KISAH sedekah kuah sayur yang ditulis oleh Sara Ismail ini menggugah hati kita akan sedekah dan pengaruhnya terhadap kehidupan kita dan orang lain. Meskipun tampak kecil, jangan pernah remehkan sedekah.
“Maaf, Mbak.”Seorang wanita paruh baya mendekati etalase pedagang nasi.
“Ya, ada apa, Bu? Mau beli?” Sahut Kamila, pemilik rumah makan.
Wanita yang ditanya tidak langsung menjawab. Wajahnya tampak ragu.
“Bu ….” Panggil Kamila sekali lagi.
“Anu, Mbak … Saya mau beli kuah sayur. Tapi cuma tiga ribu. Kuahnya saja, Mbak, sedikit. Bisa, Mbak?” tanyanya dengan suara pelan.
Kamila melihat kedua tangan wanita itu. Terlihat di sana dua lembar uang kertas lusuh. Kemudian dia mengangguk. “Bisalah, Bu. Sudah banyak itu.”
Wanita pembeli itu begitu lega mendengar jawaban Kamila. Senyum terukir di wajahnya yang terlihat lelah.
“Ini, Bu.” Tak lama sebungkus kuah sayur disodorkan Kamila.
“Makasih banyak, Mbak.”
“Iya, Bu, sama-sama.”
Wanita itu membayar lalu segera pulang. Dan Kamila kembali duduk termenung di warungnya yang sepi. Sudah beberapa hari ini omset penjualannya menurun.
Kalau dipikir-pikir tidak pernah dia menjual dagangannya dengan harga tiga ribu. Apalagi harga-harga semakin merangkak naik. Tapi dia tidak ingin mengecewakan wanita tadi.
Dia tahu kalau wanita itu hidup dalam kesusahan. Namun masih menjaga harga dirinya dengan tidak meminta-minta. Itulah sebab nya, Kamila juga berusaha menjaga perasaan sang wanita tersebut.
Baca juga: Kisah Ulama Bersedekah hingga Miliaran Setiap Harinya
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam … Hore Ibu pulang.” Tiga bocah mengejar Ibunya di depan pintu.
“Iya … Yuk, makan, Nak.”
Mereka pun duduk melingkar di ruangan dua kali tiga meter. Lantai semen yang sudah retak-retak itu mereka tutupi dengan sehelai tikar yang sudah sobek pula.
Wanita yang tak lain adalah Ibu mereka, menghidangkan semangkok nasi dingin dan kuah yang tadi dibelinya. Seketika mata anak-anak itu membesar memancarkan bahagia.
“Wah, ada kuah. Enak itu, Bu ….” Kata si sulung.
“Iya, Nak. Alhamdulillah,” Ibunya merasa amat bersyukur.
Dia tidak menyangka uang tiga ribu miliknya bisa membeli kuah sayur. Selama ini dia tidak berani membeli, karena takut akan ditolak seperti yang sudah-sudah.
Zaman sekarang, mana ada orang yang menjualkan sayur seharga tersebut. Apalagi di rumah makan besar seperti tadi.
Hari ini terpaksa dia memberanikan diri, karena sudah hampir sembilan hari anak-anaknya hanya makan nasi putih dingin.
Biasanya dia masih sanggup membelikan telur. Tapi sekarang tidak lagi. Karena suami yang sedang sakit tidak bisa bekerja mencari rongsokan.
Sepanjang menikmati makanan, senyum tak lepas dari wajah keluarga itu. Mereka makan dengan lahap, meski si Ibu hanya memberi dua sendok kuah setiap piringnya. Karena akan disimpan untuk makan malam nanti.
Baca juga: 3 Langkah Praktis agar Anak Gemar Bersedekah
Sedekah Kuah Sayur
“Maaf, Mbak.” Keesokannya wanita itu datang lagi.
“Kuah sayur, Bu?”tanya Kamila tersenyum.
“Iya, Mbak,” jawab wanita tersebut antusias.
Tidak berapa lama, pesanannya pun sudah siap. “Nih, Bu.”
“Makasih, Mbak.” Ia menyerahkan uang tiga ribu kembali.
“Sama-sama.”
Wanita itu keluar dari rumah makan dengan perasaan bangga. Dia merasa si penjual melayaninya sama dengan pembeli yang lain.
Namun semakin hari kuah yang didapatnya tidak hanya berisi kuah saja. Tapi juga ada sayur nangka dan beberapa potong daging ayam.
Meski kecil-kecil, tapi dia dan keluarganya sangat bersyukur. Porsinya juga semakin banyak. Hingga sekarang setiap piring bisa mendapat lima sampai enam sendok kuah.
Baca juga: Contoh-Contoh Sedekah Tanpa Harta
Hari ini terlihat sudah mulai banyak pembeli di rumah makan. Tidak sepi seperti biasa. Wanita itu tampak melangkah dengan ragu.
Karena mayoritas pembeli nasi menaiki mobil dan motor. Semua tampak rapi dan bersih. Tidak seperti dirinya yang kucel dan kumuh.
Hampir saja dia balik badan karena minder, kalau tidak terbayang wajah anak-anaknya yang sedang menunggu di rumah.
Apalagi hari ini nasi yang mereka makan adalah nasi aking. Itu pun pemberian tetangga karena saat ini dia sama sekali tidak mendapatkan pemasukan. Hanya tersisa tiga ribu saja di dompet usangnya.
“Maaf, Mbak.”
“Oh, iya, Bu.”
“Seperti biasa, ya, Mbak.”Dia berusaha bersikap senormal mungkin. Seperti pembeli lainnya. Namun uang kertas itu digenggamnya erat agar tak terlihat orang lain.
“Aduh, Bu. Sayurnya sudah ada yang punya. Bagaimana kalau yang ini saja, ya? Ini pun enak, Bu. Saya jamin!”Kamila menunjuk wadah yang berisi rendang daging.
Si wanita itu terkejut. “Tapi, Mbak”
“Enggak apa-apa ya, Bu. Yang ini aja.” Kamila berpura-pura membujuk. Padahal dia yakin kalau wanita itu merasa tidak enak karena uangnya tidak cukup.
Kamila segera membungkus sepuluh potong daging serta membanyakkan bumbunya.
“Ini, Bu,” ujarnya. Lalu mengambil uang tiga ribu yang berada di genggaman wanita tersebut dengan mengusahakan tanpa terlihat oleh pembeli lain berapa nominalnya.
Wanita itu tersenyum lebar. Dia tidak menyangka hari yang ditunggu-tunggu keluarganya terjadi juga. Hari di mana mereka bisa menikmati daging yang sebelumnya hanya berupa mimpi tertinggi.
Terbayang sudah wajah anak-anaknya yang kegirangan.
Dia juga keluar dari rumah makan dengan langkah pasti. Tanpa harus menunduk dan mendapat pandangan hina dari orang lain. Harga dirinya terjaga karena tidak menjadi peminta-minta.
Sementara Kamila juga merasa puas. Dapat menjaga harga diri orang lain. “Biarlah aku bersedekah dengan caraku. Meski tanpa disadari wanita itu, tapi aku yakin Allah Maha Melihat ketulusanku.” [ind]
Sumber: https://t.me/semangatsubuh