ChanelMuslim.com- Tak banyak yang tahu kalau karena wanita inilah Umar bin Khaththab masuk Islam. Bukan karena kemampuan argumentasinya. Bukan karena keilmuannya. Tapi karena keberanian dan istiqamahnya.
Namanya Fathimah binti Al-Khaththab bin Naufal bin ‘Abdul ‘Uzza bin Rabah bin ‘Abdullah bin Qarath bin Adi bin Ka’ab. Beliau termasuk wanita yang terhormat, memiliki wajah yang cantik. Ia juga termasuk keluarga Quraisy yang paling mulia dan paling kuat. Tapi tetap lemah lembut, dan halus perangainya.
Fathimah radhiyallahu ‘anha tumbuh dalam keluarga Khaththab bin Naufal Al-Makhzumi Al-Quraisyi yang dikenal keutamaan dan kemuliannya, memiliki kedudukan dan nasab yang terpandang. Bapaknya juga dikenal sebagai orang yang dapat mendidik anak-anaknya dengan keutamaan-keutamaan menurut orang Arab, terutama dalam hal kekuatan dan membentuk kepribadian.
Setelah dewasa, Fathimah dilamar Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Naufal. Mereka pun menikah dan hidup bersama. Kehidupan mereka merupakan potret suami istri yang paling harmonis dan serasi, saling memahami, dan saling menghormati.
Sa’id, suami Fathimah masuk Islam melalui perantara sahabat yang agung bernama Khabbab bin Ar-Art radhiyallahu ‘anhu. Sa’id diantar Khabbab menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah, menyatakan keesaan Allah, dan kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setibanya di rumah, Sa’id menceritakan pertemuannya dengan Khabbab serta perjumpaan beliau dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istrinya, Fathimah.
Sa’id menjelaskan kepada Fathimah tentang agama yang baru ia peluk. Ia pun membandingkan kemuliaan agama itu dengan agama yang dikenal sebelumnya.
Fathimah begitu antusias mendengarnya. Belum lagi sang suami menyelesaikan pembicaraannya, Fathimah radhiyallahu ‘anha telah mengikrarkan syahadatain sehingga beliau terhitung sebagai wanita yang awal masuk Islam.
Sejak itu, setiap hari Khabbab bin Al-Art mendatangi rumah mereka secara rutin dan memberitahukan ayat-ayat yang baru turun. Beliau ajarkan kepada keluarga itu tentang Dienullah sehingga tumbuhlah dalam hati mereka semangat untuk beriman.
Namun, mereka berharap agar berita keislaman tersebut tidak tersebar karena khawatir dengan kekejaman ‘Umar yang dikenal dengan orang yang paling keras sikapnya terhadap kaum muslimin dan paling gigih menghalangi dakwah Islam di tanah airnya.
Suatu hari, ‘Umar bin Khaththab melangkahkan kakinya menuju rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh nampak sekali kemarahan pada kedua matanya.
Tiba-tiba dia bertemu dengan seorang laki-laki dari Bani Zahrah dan bertanya kepada ‘Umar, “Hendak kemana engkau wahai ‘Umar? Aku melihat engkau dalam keadaan marah, geram, dan menghunus pedang.”
Umar menjawab, “Aku hendak membunuh Muhammad karena dialah orang yang telah mengacaukan urusan orang-orang Quraisy, menganggap bodoh angan-angan mereka, mencela agama mereka, dan mencerca tuhan-tuhan mereka.”
Maka laki-laki tadi berkata, “Demi Allah, engkau telah terperdaya oleh dirimu sendiri wahai ‘Umar. Apakah engkau mengira Bani Abdi Manaf akan membiarkan dirimu berjalan di muka bumi, jika engkau membunuh Muhammad? Mengapa engkau tidak pulang saja kepada keluargamu dan membereskan urusan mereka?”
‘Umar bertanya, “Keluargaku yang mana?” Laki-laki tersebut menjawab, “Adik iparmu, putra pamanmu, Sa’id bin Zaid bin ‘Amru beserta adikmu Fathimah binti Al-Khaththab. Demi Allah, mereka berdua telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad.”
Bertambah geramlah ‘Umar sehingga dia berkata, “Benarkah mereka telah masuk Islam? Jika memang benar, sungguh aku akan membunuh mereka berdua dengan cara yang sadis.”
Maka bergegaslah ‘Umar menuju rumah adik dan iparnya. Sungguh dia telah berada dalam puncak kemarahannya sehingga tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Ketika Umar sudah dekat dengan pintu rumah Fathimah, ia mendengar suatu kalimat yang diulang-ulang namun tidak begitu jelas. Ia melongok sedikit dan masuk rumah sedangkan suaranya menggelegar memanggil adiknya.
Ketika itu, Khabbab bin Al-Art berada di dalam rumah tersebut sedang membacakan kepada Sa’id dan Fathimah sebagian ayat dari Al-Qur`an Al-Karim. Setelah mereka mendengarkan suara ‘Umar tersebut, Khabbab bersembunyi di salah satu kamar.
Sementara itu, Fathimah segera mengambil lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur`an itu dan beliau sembunyikan di tangannya agar tidak ditemukan Umar.
Tatkala ‘Umar masuk, dia berkata, “Suara apa yang aku dengar tadi?”
Fathimah dan suaminya menjawab, “Bukan suara apa-apa.”
Umar berkata, “Demi Allah aku telah mendapat kabar bahwa kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad.”
Seketika itu juga ‘Umar menyerang iparnya dan menghajarnya. Fathimah mencoba menghalangi ‘Umar agar tidak terus menyerang suaminya. Ketika Fathimah berdiri di antara ‘Umar dan suaminya, justru ‘Umar memukul Fathimah. Fathimah pun ikut terluka.
Mereka berdua berkata, “Benar. Kami berdua memang telah masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lakukanlah apa yang hendak kamu lakukan terhadap kami.”
Ketika melihat merah darah adik perempuannya yang telah dia pukul, Umar merasa iba. Ia mulai melunak. Tidak lagi menyerang adik dan iparnya itu.
“Berikanlah lembaran yang telah aku dengar tatkala kalian baca tadi. Aku hendak melihat seperti apa ajaran yang dibawa oleh Muhammad,” ucap Umar sesaat kemudian.
Fathimah berkata, “Kami khawatir jika engkau akan merusaknya.”
“Jangan khawatir. Aku bersumpah akan mengembalikannya. Aku hanya ingin membacanya,” ucap Umar.
Melihat hal itu, Fathimah mengharap keislaman ‘Umar, beliau berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya engkau najis karena kemusyrikanmu, sedangkan ini tidak boleh disentuh, kecuali oleh orang yang suci.”
Ucapan tegas itu sama sekali tidak membuat Umar kembali marah. Justru, ia beranjak untuk mandi, lalu Fathimah memberikan lembaran tersebut yang ternyata tertulis surat Thaha, Surah ke-20.
Mulailah ‘Umar membaca hingga manakala sampai pada ayat,
“… Agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang dia usahakan.” (QS. Thaha: 15)
‘Umar mengatakan, “Alangkah bagusnya perkataan ini. Alangkah indahnya. Alangkah mulianya.”
Mendengar respon Umar itu, Khabbab keluar dari persembunyiannya kemudian berkata, “Wahai ‘Umar, sungguh aku berharap kepada Allah agar menjadikan engkau sebagai orang yang didoakan Nabi-Nya karena sesungguhnya aku mendengar bahwa kemarin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
“Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan masuk Islamnya Abu al-Hakam bin Hisyam atau ‘Umar bin Khaththab.”
Ada perubahan di wajah ‘Umar. Perubahan yang sangat drastis. Ia berkata, “Tunjukkanlah kepadaku dimanakah Muhammad berada, sebab aku hendak menemuinya untuk masuk Islam.”
Khabbab berkata, “Ternyata yang lebih disukai Allah di antara keduanya adalah ‘Umar.”
Keluarlah ‘Umar bin Khaththab dari rumah adiknya menuju rumah yang ditunjukkan oleh Khabbab bin Al-Art dimana dia akan menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Kali ini, dia tidak bermaksud untuk membunuhnya ataupun menghalangi beliau dari dakwah Islam. Sebaliknya, kakak kandung dari Fathimah ini hendak menggabungkan diri dengan Rasulullah dan umat Islam.
Dengan keislamannya tersebut, Umar menjadikan Islam berwibawa dan mendapat kemenangan sebagaimana yang didoakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitulah sejarah telah merekam bahwa Fathimah binti Al-Khaththab radhiyallahu ‘anha memiliki sikap iman yang agung. Ia telah menawarkan Islam kepada ‘Umar dan bagaimana pula tanggapan ‘Umar yang perkasa terhadap sikapnya.
Kemudian Fathimah hidup dengan sisa-sisa umurnya di dalam naungan Islam, menimba dari sumbernya yang jernih, dan menyampaikan hadits yang telah dia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Cukuplah kisah fenomenal itu menjadi kebanggan bagi Fathimah. Sosoknya telah Allah subhanahu wata’ala jadikan perantara masuk Islamnya Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma.
**
Diketik ulang dari Mereka Adalah Para Shahabiyat (terjemah), karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi, dan Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, penerbit At-Tibyan, Solo, 2005, hlm. 157-161.
Diolah dari: https://muslimah.or.id/10005-fathimah-binti-al-khaththab.html