IMAM Raja’ bin Haiwah adalah guru spiritual Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal. Sosoknya dijelaskan oleh K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc. sebagai berikut.
Abu al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal al-Kindi. Lahir di Baisan, Palestina. Penduduk Baisan saat itu masih beragama Kristen. Ia lahir dari bapak dan ibu yang beragama Kristen.
Setelah Umar bin Khatab radhiyallahu anhu membebaskan Palestina dan menyampaikan pidatonya di hadapan masyarakat, orang tua Raja’ bin Haiwah dan keluarganya masuk Islam, termasuk Raja’ bin Haiwah.
Saat itu, usianya masih 15 tahun.
Setelah masuk Islam, Raja’ bin Haiwah belajar kepada seorang sahabat mulia, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu hingga memahami ajaran Islam dan meriwayatkan hadis dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu anhu, Abu Darda’ radhiyallahu anhu dan Ubadah bin Shamit radhiyallahu anhu.
Raja’ bin Haiwah seorang arsitek yang membangun kubah Shakhrah Masjidil Aqsha, salah seorang syaikh (tokoh ulama) dan ahli fikih negeri Syam.
Akrab dengan para khalifah Bani Umaiyah, khususnya Umar bin Abdul Aziz hingga menjadi guru spiritual dan penasihatnya yang paling dekat.
Ia menjadi menteri dan penasihat pada masa khilafah Abdul Malik bin Marwan, Sulaiman bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
Setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, Raja’ bin Haiwah menjauhkan diri dari para khalifah sesudahnya.
Baca Juga: Kisah Umar bin Abdul Aziz Mengurus Pagar Rumah yang Pendek
Raja’ bin Haiwah, Guru Spiritual Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Ia seorang perawi hadits yang terpercaya (tsiqah). Perawi yang meriwayatkan hadis darinya, di antaranya Makhul dan az-Zuhri.
Raja’ bin Haiwah punya jasa besar bagi kaum muslimin. Karena punya peran besar dan utama dalam proses terpilihnya Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah pada masa pemerintahan Bani Umaiyah.
Seorang khalifah yang saleh dan adil. Karena itu, Raja’ bin Haiwah sangat dicintai kaum muslimin khususnya di kalangan orang-orang saleh.
Raja’ bin Haiwah bertutur: Ketika Khalifah Sulaiman sakit, Umar melihatku keluar masuk di ‘pendopo’ lalu berkata:
‘Aku ingatkan kamu kepada Allah dan Islam. Jangan sampai kamu menyebut namaku kepada Amirul Mukminin atau mengusulkan namaku kepadanya jika dia meminta pendapatmu. Demi Allah, saya tidak kuat menerima urusan ini’.
Aku pun membentaknya seraya berkata: ‘Sungguh kamu sangat berambisi terhadap khilafah. Apakah kamu menginginkan aku untuk mengusulkanmu kepadanya?’. Umar pun merasa malu.
Kemudian aku masuk menemui Sulaiman lalu dia bertanya: ‘Siapa menurut pendapatmu yang layak menerima urusan ini?’
Aku menjawab: ‘Takutlah kepada Allah. Kamu pasti datang kepada-Nya dan akan ditanya tentang urusan ini dan apa yang pernah kamu lakukan’.
Sulaiman bertanya: ‘Lalu siapa?’ Aku jawab: ‘Umar bin Abdul Aziz’.
Pada hari Jumat, Sulaiman bin Abdul Malik memakai pakaian hijau lalu melihat di kaca seraya berkata: Demi Allah, saya raja yang masih muda!
Kemudian, ia keluar untuk shalat bersama orang-orang dan tidak kembali lagi hingga jatuh sakit. Ketika sakitnya makin berat, ia menulis surat penetapan putra mahkota untuk putranya, Ayub yang masih kecil.
Aku (Raja’ bin Haiwah) berkata: ‘Apa yang kamu lakukan wahai Amirul Mukminin. Di antara hal yang akan melindungi seorang khalifah di kuburnya adalah menunjuk pengganti yang saleh’.
Sulaiman berkata: ‘Hanya surat yang berisi minta pilihan kepada Allah tetapi belum menjadi keputusan’.
Dua hari setelah itu, Sulaiman merobeknya kemudian memanggilku lalu berkata:
Bagaimana pendapatmu jika aku menunjuk Dawud bin Sulaiman?’ Aku jawab: Dia ada di Konstantinopel sedangkan kamu tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Sulaiman berkata: Wahai Raja’, siapa menurutmu? Aku jawab: Terserah pendapat Amirul Mukminin, saya ingin tahu siapa yang disebutkan.
Kemudian Sulaiman bertanya: Bagaimana pendapatmu tentang Umar bin Abdul Aziz?
Aku jawab: Demi Allah, saya mengetahuinya seorang muslim yang baik dan utama.
Sulaiman: ‘Demi Allah, dia memang baik. Jika aku mengangkatnya dan aku tidak mengangkat salah seorang anak Abdul Malik bin Marwan pasti akan terjadi fitnah dan mereka tidak akan membiarkannya memimpin mereka, kecuali jika aku mengangkat seseorang sesudahnya’.
Yazid bin Abdul Malik saat itu tidak ada di tempat.
Raja’: Kalau begitu tunjuklah Yazid bin Abdul Malik sesudahnya, jika hal itu bisa menenangkan dan membuat mereka ridha.
Kemudian Sulaiman menulis surat keputusannya:
“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat keputusan dari hamba Allah, Sulaiman Amirul Mukminin kepada Umar bin Abdul Aziz.
Sesungguhnya saya telah mengangkatnya menjadi Khalifah sesudahku sedangkan sesudahnya Yazid bin Abdul Malik.
Maka dengarkanlah dia dan taatlah kepadanya. Takutlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian berselisih pendapat”.
Setelah distempel, surat dikirim kepada kepala kepolisian, Ka’ab bin Jabir. Sulaiman memerintahkan agar anggota keluarganya dikumpulkan semuanya.
Setelah mereka berkumpul, Sulaiman berkata kepada Raja’:
‘Bawa suratku ini kepada mereka lalu beritahukan kepada mereka bahwa itu adalah suratku, dan perintahkan mereka untuk membai’at orang yang aku angkat’.
Kemudian Raja’ bin Haiwah pun melakukannya lalu mereka berkata: Kami mendengar dan taat kepada orang yang ditetapkan di dalam surat keputusan tersebut.
Akhirnya mereka pun satu demi satu membai’at Umar bin Abdul Aziz.
Demikianlah ulama dan menteri yang saleh ini telah memberi contoh bagaimana menjadi “bithanah” (pembisik) yang baik bagi seorang kepala negara atau pemimpin tertinggi hingga sang pemimpin bisa mengambil keputusan dan kebijakan yang baik bagi Islam dan kaum Muslimin.
Kisah Raja’ bin Haiwah ini juga memberikan gambaran bagaimana generasi salaf yang saleh (generasi tabi’in) tidak menjauhi politik tetapi aktif di dalamnya dengan mengisi, mengarahkan dan mewarnainya dengan nilai-nilai Islam.[ind]
Sumber: https://t.me/robbanimediatama