ChanelMuslim.com – Kisah kedua orang tua Rasulullah berlanjut dengan ucapan perpisahan dari Abdullah dan Aminah karena Abdullah harus pergi berdagang. Bagi penduduk Makkah, musim semi adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syria.
Baca Juga: Kisah Kehancuran Abrahah dan Perjodohan Abdullah
Namun, Aminah merasa berat melepas kepergian suaminya. Ia diliputi kekhawatiran dan kegelisahan dan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergian suaminya.
“Hatiku pun terasa tertinggal di sini. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku.”
Abdullah pun terus meyakinkan kepada Aminah bahwa dirinya harus berdagang agar nantinya penghasilannya bisa mencukupi kehidupan seorang anak yang Aminah kandung.
Saat itu, kedua orang tua Rasulullah hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tidak ada lagi kekayaan yang dapat menghidupi mereka berdua selain sedikit kurma dan daging kering.
Oleh sebab itu, pergi berdagang merupakan salah satu cara menambah penghasilan.
Akhirnya, Aminah terpaksa menyetujuinya. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu, seolah itu adalah detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.
Baca Juga: Terharu, Suami Soraya Abdullah Umumkan Meninggalnya Sang Istri
Kedua Orang Tua Rasulullah Dipisahkan oleh Maut
Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Makkah hendak mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit.
“Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalan pulang. Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit,” kata Abdullah kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya mengangguk dan akan menyampaikan pesan bahwa Abdullah baik-baik saja keadaannya.
Kafilah Makkah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib pun memerintahkan Harits pergi ke Yatsrib untuk melihat keadaan adiknya dan segera mengajak pulang apabila sudah sembuh.
Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ia temui adalah wajah-wajah duka.
“Abdullah telah meninggal. Mari, kami antar engkau ke pusaranya.”
Harits pun menyampaikan berita sedih itu ke Makkah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Muthalib. Namun, kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Terlebih lagi, saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya.
“Hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang hidup untuk membesarkan bayi kita.”
Sahabat Muslim, itulah mengapa ketika Rasulullah lahir, beliau tidak sempat berjumpa dengan ayahnya. Semoga kisah ini makin menambah kecintaan kita kepada Rasulullah. Aamiinn. [Cms]