MUHAMMAd Kamal Ismail, arsitek yang pertama yang melakukan perencanaan dan pelaksanaan proyek perluasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dia menolak menerima upah untuk proyek tersebut dari Raja Fahd bin Abdulaziz Al-Saud.
Dia mengatakan, Mengapa saya harus menerima uang (untuk pekerjaan saya) di dua masjid suci, bagaimana saya menghadap Allah (pada Hari Penghakiman?)
Pria asal mesir ini, sebelumnya juga telah mendapatkan penghargaan sebagai lulusan termuda pertama di Royal School of Engineering. Ia kemudian mengejar gelar doktor di Eropa dalam bidang Arsitektur Islam.
Baca Juga: Multaqa Ulama Asia Tenggara Tuntut Ulama Bekerjasama Sebarkan Ajaran Islam Rahmatan lil Alamin
Kisah Menakjubkan Kamal Ismail, Arsitek Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang Tidak Mau Diupah
Ada kisah menarik dan menakjubkan dari Kamal dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek perluasan Masjidil Haram yang ditulis ole Dr. Zaglool Al-Najjar, seorang Earth Scientist.
Kamal berencana untuk menutup lantai masjid dengan marmer putih. Saat itu marmer yang dimaksud hanya tersedia di sebuah gunung kecil di Yunani.
Dia melakukan perjalanan ke Yunani dan menandatangani kontrak membeli sejumlah marmer yang dibutuhkan.
Setelah itu ia kembali ke Mekkah dan mulai melakukan penempatan marmer di Masjidil Haram hingga selesai.
Setelah 15 tahun, pemerintah Saudi memintanya untuk menempatkan marmer sejenis di Masjid Nabawi di Madinah.
Ia bingung karena hanya ada satu tempat untuk mendapatkan marmer sejenis, yaitu Yunani. Namun, ia saat itu sudah membeli setengah persediaan.
Kamal pergi ke perusahaan yang sama di Yunani dan bertemu dengan CEOnya, serta menanyakan tentang jumlah yang tersisa.
CEO itu mengatakan bahwa marmer yang dimaksud telah dijual segera setelah ia pergi 15 tahun yang lalu. Kamalpun menjadi sangat sedih.
Saat hendak meninggalkan kantor perusahaan tersebut, ia bertemu dengan Sekretaris Kantor dan memintanya untuk memberitahukan keberadaan orang yang membeli sisa jumlah marmer tersebut.
Dia menjawab bahwa akan sulit untuk mengetahui dari laporan pejualan yang suda lama itu. Atas permintaan Kamal, dia berjanji akan mencari di catatan lama.
Kamal memberikan alamat dan nomor hotelnya, dan berjanji akan mengunjunginya kembali esok hari.
Keesokan harinya, beberapa jam sebelum berangkat ke bandara, Kamal menerima telepon dari sekretaris yang mengatakan bahwa dia telah menemukan alamat pembeli.
Kamal pergi ke kantor mereka dengan lambat sambil berpikir ‘apa yang akan saya lakukan dengan alamat pembeli, setelah bertahun-tahun berlalu?’
Kamal sampai di kantor dan sekretaris tersebut memberinya alamat perusahaan yang membeli sisa marmer. Ia mengatakan bahwa jantungnya berdenyut dan terpompa sangat dalam saat mengetahui bahwa perusahaan yang membeli marmer tersebut adalah perusahaan Saudi.
Kamal terbang ke Arab Saudi pada hari yang sama dan setibanya di sana, dia langsung pergi ke kantor perusahaan yang membeli marmer tersebut dan bertemu dengan Admin Direktur.
Kamal menanyakan telah digunakan untuk apa marmer yang dia beli bertahun-tahun yang lalu dari Yunani.
Admin Direktur itu berkata, ‘saya tidak ingat.’ Ia lalu menghubungi ruang stok (perusahaan) dan bertanya kepada mereka tentang marmer putih dari Yunani dan mereka mengatakan kepadanya bahwa semua jumlah masih tersedia dan belum pernah digunakan.
Kamal mulai menangis, dan selanjutnya menceritakan kisah lengkapnya kepada pemilik perusahaan.
Kamal memberikan cek kosong kepada pemilik tersebut, dan memintanya menuliskan jumlah yang diinginkan.
Ketika pemilik perusahaan mengetahui bahwa marmer itu untuk Masjid Nabawi, dia berkata ‘saya tidak akan menerima satu Riyal pun. Allah membuat saya membeli marmer ini dan melupakannya, itu dimaksudkan untuk digunakan untuk Masjid Nabawi.”
Demikian kisah di balik marmer Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dari sosok arsitek yang tidak mau diupah ini Muhammad Kamal Ismail. Ia meninggal dunia pada 2 Agustus 2008. [Ln]