ChanelMuslim.com – Wahyu Allah turun pada Ibrahim, membuat hatinya terisi. Setelah sekian lama ia menantikan kehadiran seorang anak, Allah justru memerintahkan Ibrahim untuk membawa serta meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di Mekkah yang tandus dan kering.
Dari Palestina menuju Mekkah dengan perjalan kurang lebih 1.4000 kilometer, mereka bertiga berjalan menyusuri keganasan alam. Hajar yang baru saja melahirkan harus melakukan perjalanan itu disertai angin dan badai pasir yang tajam mengiris muka.
Baca Juga: Tertawanya Istri Nabi Ibrahim
Kisah Kegundahan Ibrahim Saat Meninggalkan Hajar dan Ismail
Jika kita melihat kondisi saat ini, ibu pasca melahirkan akan dilanda emosi dan perasaan yang tidak stabil (baby blues). Namun dengan pertolongan Allah kondisi Hajar terlihat prima, dan bayi mungil berusai enam bulan itu kuat dan mampu bertahan dengan perbekalan yang cukup.
Tibalah Ibrahim berserta istri dan anaknya itu di Mekkah. Mereka menempati sebuah gubuk. Kota itu tidak berpenghuni bahkan tidak ada air.
Perbekalan yang mereka bawa telah habis selama diperjalanan. Ibrahim kemudian meletakkan kantong berisi kurma dan tempa berisi air. Tanpa sepatah katapun ia pergi meninggalkan Hajar dan Ismail.
Hajar tentunya heran dan terkejut. Ia segera mengejar Ibrahim dan menanyakannya, “Hai Ibrahim, engkau mau pergi kemana? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak berpenghuni ini?”
Hajar berusaha mencengkerama baju Ibrahim, tetapi suaminya itu tak bergeming. Hajar terus bertanya dan belum memahami sikap Ibrahim.
Ibrahim tak mampu menjawabnya, lisannya pilu dan kerongkongannya seperti tersendat duri. Ia tak kuasa mengeluarkan kata-kata, matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Perintah dari Allah ini teramat berat baginya, tentunya ia tidak tega meninggalkan dua orang terkasihnya di tempat asing dan gersang ini.
Hajar semakin sedih dan galau, tapi ia tetap berusaha tegar. Setelah berkali-kali ia bertanya pada Ibrahim dan tak juga mendapatkan jawabannya. Ia mengerti bahwa suaminya yang berhati lembut itu tidak mungkin melakukan ini tanpa alasan yang kuat, dan juga tak mungkin berbuat jahat padanya.
Ia mulai mengerti, dan mengubah pertanyaannya kepada Ibrahim. “Apakah ini perintah Allah?”
“Ya,” akhirnya keluarlah suara parau dari lisan Ibrahim.
“Jika demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Setelah itu, Hajar tak bertanya lagi.
Dengan langkah berat, Ibrahim pergi meninggalkan Hajar dan Ismail. Bukan karenan ia lelaki yang tidak bertanggung jawab, bukan pula semata menuruti kecemburuan Sarah, juga bukan karena ia tidak menyayangi keduanya.
Akan tetapi semua itu dilakukan karena perintah Allah, sebagai ketaatan seorang hamba pada Rabbnya.
Hajarpun setelah mengetahui alasan suaminya itu, menjadi semakin lega. Ia sangat yakin bahwa Allah merencanakan kebaikan untuknya dan untuk umat manusia.
Sebagai bentuk ketaatan pula ia rela berpisah dengan sang suami setelah 20 tahun lamanya mereka bersama.
Kesedihan Hajar perlahan sirna, hatinya dipenuhi dengan keimanan dan keyakinan bulat kepada Allah. [Ln]