ChanelMuslim.com – Belajar dari kisah para ulama dalam menuntut ilmu di setiap kondisi. Allah Subhanahu wa taala memberikan derajat yang tinggi kepada orang yang berilmu. Apa motivasi para ulama dalam menuntut ilmu?
Biasanya, orang bekerja sesuai daya dorongnya, maka energinya juga akan besar.
Menuntut ilmu merupakan sumber kebaikan
Dalam skala kecil kita bisa menilai, misalnya dalam sebuah keluarga, suatu rumah tangga yang menempatkan ilmu syar’i sebagai hak yang utama, pasti keluarga itu adalag keluarga yang baik.
Baik atau tidaknya keluarga dilihat dari perhatiannya terhadap ilmu, terutama ilmu syar’i.
Mereka menginginkan amal kebaikannya mengalir setelah meninggal
Manusia akan terputus amal kebaikannya kecualu tiga hal: anak sholih yang selalu mendoakannya, shodaqoh jariyah (wakaf yang pahalanya selalu mengalir), dan ilmu yang bermanfaat yang terus ditransformasikan kepada orang lain.
Baca Juga: Berdoa dengan Kalimat dari Para Ulama atau Perkataan Sendiri
Belajar dari Kisah Para Ulama dalam Menuntut Ilmu di Setiap Kondisi
Latar belakang: Dahulu, kondisi tidak seperti sekarang. Tidak ada sekolah formal. Orang tualah yang menjadi guru bagi anak-anaknya. Suami atau kepala keluarga mengajarkan ilmu kepada istri dan anak-anaknya.
Ada sahabat yang ingin menikah dan tak memiliki harta, tapi ia memiliki hafalan Alquran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senang sekali mendengarnya, beliau shallallahu alaihi wa sallam pun menikahkan sahabat itu dengan mahar al-qur’an dengan harapan agar ia mengajarkan alquran kepada istri dan anak-anaknya kelak.
Meskipun mereka belajar di rumah saja, tapi kesungguhan dan ketekunan mereka membuat mereka mengungguli dan mengalahkan lulusan universitas.
Contoh: Aisyah radhiyallahu anha mampu mengajarkan 290 sahabat pada zamannya meskipun hanya di balik tabir.
– Guru harus terus mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tidak boleh mengajarkan ilmu yang itu-itu saja
– Ortu tidak boleh kalah dengan anak dalam hal semangat belajar. Jika anak bacaan alquran dan hafalannya bagus, Ibu dan Ayahnya juga harus bagus hafalan dan bacaan alqurannya.
Zaid bin Tsabit adalah seorang sahabat yang mempunyai kecerdasan luar biasa. Ia mempelajari berbagai macam bahasa hanya dalam hitungan hari, misalnya belajar bahasa Ibrani hanya dalam 17 hari, belajar bahasa Suryani, dll.
Ketika banyak penghafal alquran gugur dalam perang, Zaid bin Tsabit menjadi salah seorang anggota tim pengumpul al-qur’an.
Ubaid bin Yaisy pernah berdiam selama 30 tahun fokus untuk menulis Hadis. Pernah dalam satu malam ia tidak makan dengan tangannya melainkan disuapi saudara perempuannya karena sibuk menulis Hadis.
Seorang sahabat datang sebelum waktu sahur untuk menghadiri kajian seorang Syaikh yang terkenal. Karena kajian itu biasanya dihadiri oleh ribuan orang, ia berangkat dari sebelum waktu sahur agar mendapat tempat.
Sa’id bin Musayib termasuk ulama besar dari Tabi’in yang pergi berhari-hari bermalam-malam hanya untuk mendapatkan 1 Hadis.
Al Imam Ahmad bin Hanbal bercerita mengenai ibunya yang telah menyiapkan segala keperluan dirinya bahkan sebelum waktu subuh agar sang anak siap dalam menuntut ilmu yang dimulai setelah sholat Subuh.
– Kita bisa melihat dari contoh ini, bagaimana orang tua zaman sekarang salah dalam menempatkan perhatian, misalnya malah membelikan HP terbaru bukan untuk belajar dan lain sebagainya.
Ibnu Abbas dikenal sebagai Tintanya Umat karena pemahamannya terhadap agama dan Rasulullah saw mendoakan Ibnu Abbas agar dipahamkan agama dan tafsir.
Ibnu Abbas bahkan ingin budaknya, Ikrimah, menjadi ulama besar. Beliau bahkan mengikat kaki Ikrimah saat mengajarkan Hadis agar Ikrimah tidak kabur. Ini merupakan bentuk kesungguhan Ibnu Abbas dalam mengajar budaknya.
Ulama mengatakan: makan adalah untuk belajar dan mengajar. Orang berdagang adalah wasilah agar ke depan, ia bisa mengajar optimal.
Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama yang juga pengusaha. Ia memberikan beasiswa kepada murid-muridnya.
Ada satu ulama berjalan kaki dari kampungnya menuju Syam hanya untuk mencari 1 Hadis.
Para ulama belajar tidak hanya dari buku karya ulama lain, tapi langsung mendatangi ulama tersebut.
Imam Nawawi bahkan tidak memprioritaskan untuk menikah saking cintanya dalam menuntut ilmu.
Baca Juga: Belajar dari Runtuhnya Abbasiyah
Bagaimana belajar pada masa pandemi?
Saat zaman Sahabat, terdapat pandemi, sesuai kaidah ulama dan Rasulullah saw pernah mengatakan agar tidak memasuki suatu tempat yang ada wabah, maka para Sahabat tidak menuruti hawa nafsu. Mereka yang berilmu menggunakan ilmunya untuk menghilangkan pandemi.
Apa yang kita lakukan sekarang, belajar secara daring dalam rangka menjauhi wabah sudah sesuai kaidah ulama.
Wallahua’lam bish shawab.
Pentingnya belajar ilmu atau adab dulu?
Para sahabat mengatakan pembelajaran yang dominan itu adalah akidah dulu. Mereka mengatakan, “Beruntung sekali kita belajar ilmu setelah keimanan.”
Jadi, Ustadz Muhammadun berpendapat bahwa adab dan ilmu itu dilakukan secara berbarengan atau bersamaan.
Ilmu dapat diakses dengan mudah, bagaimana adab terhadap ilmu?
Sekarang teknologi begitu mudah, Islam tidak berbenturan dengan teknologi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak membatasi untuk belajar ilmu. Contoh: saat belajar obat, beliau mengatakan: “Setiap penyakit ada obatnya.” Bukan habbatusauda dll tapi beliau tidak membatasi.
Begitu pula ketika beliau melarang mengawinkan benih kurma, dan terbukti pohon itu tidak berbuah, lalu beliau mengatakan: “Kalian ini lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”
– Jika membagikan tulisan dari internet, sebutkan sumber agar terhindar dari pembajakan.
Kekhilafan Dinasti Abbasiyah terkenal dengan apresiasinya yang tinggi terhadap para penulis dan ilmuwan. Khalifah bahkan memberi hadiah emas kepada penulis sesuai dengan berat buku yang ditulisnya.[ind]
Disampaikan oleh Ustaz K.H. Muhammadun Abdul Hamid, M.A. dalam Kajian Ortu Hasanah Quranic School Bekasi, 23 Agustus 2020.