ChanelMuslim.com – Akhir Kisah Abu Dzar
Ucapan itu terjadi di waktu perang Tabuk tahun kesembilan Hijrah. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam telah menitahkan untuk maju menapak dan menghadap pasukan Romawi yang telah berkumpul di suatu tempat, telah siap perang akan menggempur umat Islam.
Kebetulan waktu Nabi menyerukan Kaum Muslimin untuk berjihad, di saat musim susah dan panas terik. Tempat yang akan dituju jaraknya amat jauh, sedang musuh menakutkan pula.
Baca Kisah Sebelumnya: Perpisahan Abu Dzar dengan Istri dan Anaknya
Akhir Kisah Abu Dzar
Sebagian Kaum Muslimin ada yang enggan ikut serta karena berbagai alasan. Rasulullah dan para shahabatnya berangkatlah diikuti oleh sebagian orang yang setengah terpaksa karena enggan.
Dan bertambah jauh perjalanan mereka, bertambah pula kesulitan dan kesusahan yang diderita.
Bila ada orang yang tertinggal di belakang, mereka berkata: “Wahai Rasulullah! si fulan telah tertinggal!”
Maka ujarnya:
“Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!”
Pada suatu kali, mereka melihat berkeliling, Abu Dzar tidak terlihat oleh mereka. Maka kata mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Abu Dzar telah tertinggal, keledainya menyebabkan ia terlambat.” Rasulullah mengulangi jawabannya tadi.
Keledai Abu Dzar memang telah amat lelah disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi gontai. Dicobanya berbagai cara untuk menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.
Abu Dzar merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari Kaum Muslimin hingga tak dapat mengikuti jejak mereka. Maka iapun turun dari punggung kendaraannya, diambilnya barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, lalu diteruskannya perjalanan dengan berjalan kaki.
Dipercepatlah langkahnya di tengah-tengan padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dan para shahabatnya.
Di waktu pagi, ketika Kaum Muslimin telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu naik ke atas, sedang di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang mempercepat langkahnya.
“Wahai Rasulullah!” kata orang yang melihat itu, “itu ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!” ujar Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar!”
Merekap melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, di saat mana mereka akan mengetahui siapa dia.
Musafir mulia itu mendekati mereka secara lambat, langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia tetap gembira penuh harapan, karena berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi berkah, dan tidak ketinggal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan saudara-saudaranya seperjuangan.
Setelah ia sampai dekat rombongan, seorang berseru: “Wahai Rasulullah! demi Allah ia Abu Dzar.” Sementara itu Abu Dzar melangkah menuju ke arah Rasulullah. Dan demi Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah senyuman yang penuh santun dan belas kasihan, sabdahnya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar!
Ia berjalan sebatang kara…
Meninggal sebatang kara…
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara…!”
Setelah berlalu masa 20 tahun atau lebih dari hari yang kita sebutkan tadi, Abu Dzar wafat dipadang pasir Rabazhad sebatang kara, setelah sebatang kara pula ia menempuh hidup yang luar biasa yang tak seorangpun dapat menyamainya.
Dan dalam lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara, yakni orang satu-satunya, baik dalam keunggulan zuhud maupun keluhuran cinta.
Dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tidak terbilang banyaknya, tak ada tandingannya dengan orang lain! [Ln]