ABDULLAH bin Amr mengindahkan nasihat Rasulullah agar mematuhi ayahnya. Sahabat ini merupakan sahabat yang memiliki banyak keutamaan.
Jika diberi barang yang sangat berharga entah emas, mobil atau rumah mungkin, tentu kita akan senang tiada tara.
Namun, tidak dengan sahabat Rasul yang satu ini, Abdullah bin Amr bin Ash. Pada suatu hari, ketika ia sedang duduk-duduk bersama rekannya di Masjid Nabawi, Husain bin Ali lewat dekat mereka.
Keduanya saling mengucapkan salam. Ketika Husain telah pergi, Abdullah berkata kepada orang-orang yang ada di sekeliling-nya, “Maukah kalian kutunjukkan penduduk bumi yang paling dicintai oleh penduduk langit? Dialah yang baru saja lewat di hadapan kita: Husain bin Ali. Sejak Perang Shiffin, ia tidak pernah berbicara denganku. Sungguh, ridhanya kepadaku, lebih kusukai daripada barang yang paling berharga sekalipun.
Baca Juga: Abdullah bin Amir, Pemimpin Pemuda Quraisy
Abdullah bin Amr Mengindahkan Nasihat Rasulullah agar Mematuhi Ayahnya
Abdullah sepakat dengan Abu Sa’id al-Khudri untuk mengunjungi Husain. Di rumah Husain berlangsung pertemuan orang-orang mulia. Abdullah bin Amr membuka percakapan. Ketika pembicaraan sampai pada masalah Perang Shiffin, dengan nada sedikit kesal Husain bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu bergabung di barisan Mu’awiyah?”
Abdullah menjawab, “Suatu hari, Ayah (Amr bin Ash) mengadukanku kepada Rasulullah, ‘Ya Rasul, Abdullah ini berpuasa di siang hari dan malam hari ia habiskan untuk qiyamullail.’
Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Abdullah, shalatlah dan jangan lupa tidur. Berpuasalah tetapi jangan terus-menerus dan patuhilah ayahmu.’
Maka, di hari Shiffin, Ayah menyuruhku ikut bersamanya. Aku pun ikut bersamanya. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak mencabut pedangku dari sarungnya. Aku sama sekali tidak melempar tombak dan tidak membidikkan panah.”
Ketika usianya mencapai 72 tahun, saat ia sedang berada di mushalla rumahnya, beribadah, berzikir, memuji Tuhannya, ia dipanggi untuk melakukan perjalanan abadi.
Panggilan itu ia sambut dengan senang hati. Ruhnya pergi menyusul rekan-rekannya yang telah mendahuluinya. Sementara Sang Pemberi kabar gembira memanggilnya dari atas langit.
“Wahai jiwa yang tenang, kembaliLah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Masuklah dalam golongan hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam surga-Ku.”
Inilah jiwa seorang mukmin yang cerdas. Berpegang pada janji setia mengikuti nasihat tetapi dapat menjaga diri tidak terjatuh pada kesalahan yang sama. [Cms]
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Itihsom