MASUK surga menjadi harapan semua orang yang percaya pada kehidupan akhirat, utamanya bagi umat Islam. Namun terkadang harapan ini memiliki kadar upaya yang berbeda-beda pada tiap orang.
Tidak semua orang memiliki kerja keras yang sama dalam meraih harapannya yang besar itu. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam buku Thariqul Hijrataini membagi mereka menjadi tiga golongan:
Tingkatan Pertama
Yang pertama ini merupakan tingkatan terendah orang-orang yang berupaya untuk masuk ke surga. Mereka melewati hari-harinya dengan lebih banyak melakukan dosa dibanding kebaikan.
Ibnu Qayyim menyebut mereka sebagai orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Ia lambat dalam mempersiapkan perbekalan menuju surga sehingga tidak cukup mengantarkannya sampai ke tujuan yang diharapkan. Padahal waktu yang mereka miliki untuk mengumpulkan bekal hanya sedikit.
Dari segi kualitas maupun kuantitas amalnya tidak mampu membantunya mencapai apa yang dicita-citakannya selama ini. Bekal yang ia bawa hanya dapat membantunya untuk menghadapi rintangan selama perjalanan saja. Ia akan menghadapi rintangan yang ada dengan perbekalan seadanya.
Baca Juga: Ayat Al-Qur’an atau Hadis Ajakan Masuk Surga
Tiga Tingkatan Orang yang Berharap Masuk Surga
Tingkatan Kedua
Tingkatan kedua adalah orang-orang yang membekali dirinya dengan bekal seadanya dan hanya cukup untuk mengantarkannya sampai ke rumah kedamaian, tanpa ada keinginan dan semangat untuk memperoleh keuntungan yang melimpah.
Akan tetapi ia tidak membekali diri dengan hal-hal yang merugikannya. Ia bisa selamat sampai tujuan, walaupun tidak mendapatkan keuntungan yang melimpah.
Tingkatan Ketiga
Yang terakhir adalah golongan yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka memiliki tekad dan semangat yang membara untuk meraup keuntungan. Ibaratnya, mereka tidak hanya ingin masuk surga saja namun mereka ingin masuk surga paling tinggi, berharap bertemu Allah, para Nabi dan orang-orang shalih lainnya.
Harapannya ini terwujud dengan usaha dan strategi beribadah dan beramal shalih yang seimbang dan sesuai dengan yang disyariatkan.
Mereka seolah mengetahui dan memahami bahwa di hadapannya terdapat sebuah negeri yang makmur dan kaya, dimana mereka dapat memperoleh keuntungan dagang sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat atau bahkan lebih.
Mereka optimis akan memperolehnya dengan pengalaman dagang dan pengenalan medan yang baik di negeri tersebut.
Mereka juga akan merasakan kerugian yang nyata jika melewatkan waktu tanpa berdagang dan tentu tanpa keuntungan.
Lalu berada pada tingkatan berapa kita saat ini? Sudahkah kita beramal sesuai dengan harapan-harapan besar kita?
[Ln]