TIDAK perlu mencari kesempurnaan karena pada hakikatnya, kesempurnaan itu hanya milik Allah Subhanahu wa taala. Sahabat, tidak bisa dipungkiri pasti siapapun pun ingin terlihat sempurna.
Ustaz Salim A. Fillah menyadarkan kita tentang arti kesempurnaan dan mengapa hal itu tidak perlu dikejar dalam artikelnya berjudul Nelayan dan Kesempurnaan yang ditulis pada 28 September 2019.
Buku dahsyat karya Dr. Jaribah ibn Ahmad Al Haritsi, Al Fiqhul Iqtishadi li Amiril Mukminin ‘Umar ibn Al Khaththab disebutkan sebuah riwayat yang dicantumkan menyebut betapa takjubnya Sayyidina ‘Umar pada para nelayan.
Nelayan adalah mereka yang menangkap ikan, menjemput rizqi Allah langsung dari lautan, menyatukan ikhtiyar, doa, dan tawakkal.
“Ini salah satu jenis pekerjaan terbaik”, ujar beliau sumringah.
Menjelang Jumat tempo hari, di Sushizanmai, Shibuya, Tokyo; di hadapan ikan yang disajikan segar, Salim teringat Surat Al Kahfi.
Tidak Perlu Mencari Kesempurnaan
Di antara pelajaran yang diberikan Khidhr kepada Musa di sebuah desa nelayan kecil adalah bahwa kesempurnaan itu bukan haknya manusia.
Jika perahu yang mereka tumpangi dibiarkan indah permai tanpa cela, justru si pemilik akan kehilangan perahu itu selamanya.
Sebab, “Di seberang pelabuhan sana ada seorang raja yang suka menggasab kapal orang.”
Khidhr memberi cacat, aib, dan kekurangan pada sampan itu untuk menyelamatkannya, agar si perampas tak tertarik padanya.
Baca juga: Orang Tua yang yang Shalih termasuk Sebaik-baik Privilege
Dalam hidup ini, betapa riskan menjadi sosok ‘sempurna’. Ia berbahaya. Sudah tabiat setiap yang cantik akan memancarkan pesona. Lalu tak semua yang mendekat pasti baik niatnya.
Bahkan segala nikmat selalu berpeluang mengundang dengki. Dan dengki adalah salah satu ibu kejahatan yang paling subur memperanakpinakkan laku nista.
Maka dari itu, tak usahlah kita tertarik untuk menjadi sempurna. Apalagi ingin menjadi yang lebih parah dari itu, yaitu “tampak sempurna” padahal sebenarnya jauh darinya.
Menjadi sempurna saja membuat kita rawan menjadi mangsa, apalagi hanya tampak sempurna.
Ia bahkan mengaburkan hati sesama yang bergaul dengan kita, menggagalkan mereka dari menjadi calon pasangan ataupun sahabat yang tulus hatinya.
Biarlah sesama mengenal kita apa adanya.
Benarlah seorang salafush shalih yang berdoa,
“Ya Allah jadikan aku dalam pandangan-Mu sebagai yang sebaik-baiknya, dalam pandangan manusia sebagai yang biasa-biasa saja, dan dalam pandangan diri sendiri sebagai yang paling hina.”[ind]