TAZKIYAH adalah poros keseimbangan aktivis dakwah. Hal ini dijelaskan oleh Ustaz Djoko P. Abdullah sebagai berikut.
Wasiat yang sangat mahal pernah disampaikan oleh Imam Badi’uz Zaman Sa’id an-Nursi berikut ini:
Engkau diciptakan dengan dibekali kelalaian, kefakiran, kelemahan, dan kebutuhan, agar dengan teropong kelalaianmu kamu dapat memandang kepada kesempurnaan-Nya Yang Mahasuci; dengan ukuran kefakiranmu kamu dapat memandang kepada derajat kekayaan dan rahmat-Nya dan dengan neraca kelemahanmu, kamu dapat memandang kepada kebesaran kekuasaan dan keagungan-Nya; dengan melalui berbagai macam kebutuhanmu, kamu dapat memandang keanekaragaman nikmat dan kebaikan-Nya.
Tujuan fitrah kejadianmu adalah untuk menghambakan diri (Ubudiyah)
Saudaraku…. Pernahkah merasakan tiba-tiba ada perubahan lumayan drastis pada Ruhiyah kita? Hadir di pengajian cuma sekadar membawa badan.
Tak ada masukan, ide atau gagasan seperti biasanya. Pengajian halaqah sekadar rutinitas melingkar.
Di rumah rasanya berat sekali tilawah. Kaki terasa berat melangkah ke masjid. Shalat tidak khusyuk. Tidak seperti biasanya gairah qiyamullail perlahan menurun.
Obsesi kita pada dunia sangat meluap-luap. Kita lupa makna syukur. Kita kehilangan selera wirid, zikir, istighfar dan shalawat.
Kita lupa akan kematian. Bahkan kita tampil dingin saat melihat jenazah lewat depan mata. Air mata kita menggenang banyak saat nonton film dan sinetron melo.
Tapi tak bereaksi saat membaca ayat ancaman siksa. Kesimpulannya, Muhasabah harian kita mulai dropped.
Saudaraku…Sepertinya perlu ada charger ruhiyah, untuk mengubah kondisi spiritualitas dan menjernihkan kembali ruhiyah kita.
baca juga: Muslim Harus Tahu, Ini Pentingnya Melakukan Tazkiyatun Nafs
Tazkiyah, Poros Keseimbangan Aktivis Dakwah
Dalam petikan surah Al Jumuah ayat 2 (dan masih banyak ayat yang senafas) dapat disimpulkan bahwa tiga unsur penting yang tidak dapat diabaikan dalam proses Tarbiyah, yaitu tilawah, tazkiyah dan ta’lim.
Tilawah adalah kegiatan membaca dengan mengaktifkan semua unsur jiwa, hati, pikiran, lidah dan anggota badan.
Pada saat membaca Al Qur’an; jiwa, raga dan perasaan melebur menjadi satu. Sementara lidah membaca, dan kata-kata keluar dari bibir, pikiran mempertimbangkan, hati merenungkan, jiwa meresapi, dan air mata menggenang, serta hati bergetar.
Ini artinya bahwa tilawah bukan sekadar membaca tapi menajamkan arti, ia merupakan kontemplasi total seluruh potensi diri, sehingga interaksinya dengan Al-Quran berjalan secara totalitas.
Maka ketika seseorang tilawah, berarti sedang berproses mengarahkan informasi Rabbani yang tertuang dalam ayat-ayat Al Qur’an, untuk kemudian diterjemahkan dalam amal nyata.
Bukan sebagaimana yang dikhawatirkan Nabi bahwa ada di antara umat ini yang membaca Al Qur’an tetapi tidak sampai melewati tenggorokannya. Na’udzubillah.
Proses kedua adalah Tazkiyah, yaitu penyucian jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam berbagai kesempatan.
Tazkiyah menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, adalah kalimat yang maknanya dekat dan menunjukkan tarbiyah.
Bahkan keduanya hampir sama dalam memperbaiki nafs, mendidik tabiat bahkan menguatkan manusia kepada derajat yang tertinggi.
Bila Tilawah merupakan upaya membimbing manusia kepada informasi Ilahi, maka Tazkiyah merupakan langkah yang kongkret agar tumbuh dorongan motivasi yang kokoh guna melaksanakan ayat-ayat Qur’an menjadi bagian dari gerak hidupnya sehari-hari.
Ini berarti telah terjadi Ta’ ammul Ruhi-Athifi (interaksi jiwa dan perasaan) dengan Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an yang mendominasi fikrahnya, melahirkan kekuatan dakwah dan jihad, mengokohkan hati untuk konsisten di jalan Allah.
Adapun Ta’lim (Tu’alimunal kitab wal hikmah) merupakan proses pengayaan (enrichment), terhadap Islam dengan seluk-beluknya, diri dan karakternya, dan seluruh aspek yang mencakup Syumuliyatul Islam.
Di dalamnya seorang muslim diajak berdialog dengan ayat-ayat Allah sehingga ia memiliki bashirah (daya pandang) dan tashawur (persepsi) yang sahih (benar) dan wadhih (jelas) tentang Islam.
Ini berarti Ta’lim akan semakin mengokohkan dasar pijakannya terhadap Islam sebagai Din yang diyakininya, dibenarkan, diamalkan dan didakwahkan dalam setiap kesempatan.
Islam menjadi inspirasi bagi seluruh geraknya dengan Al-Quran dan As Sunah sebagai hujjah yang paling argumentatif.
Dengan Ta’lim ini pula, seorang muslim akan semakin terbuka kesempatan baginya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas amal shalihnya.
Jadi antara Tilawah, Tazkiyah dan Ta’lim merupakan kesatuan utuh dari proses dakwah dan tarbiyah yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Akan tetapi, saling melengkapi dan menyempurnakan.
Tilawah sebagai pembuka cakrawala mukmin agar tahu tentang Islam, kemudian Tazkiyah yang akan menggerakkan hatinya dalam beramal sedangkan Ta’lim adalah bekal bagi amal itu sendiri.
Tazkiyah merupakan bagian inti yang tak dapat dipisahkan dari proses Tarbiyah, sebagaimana yang dikatakan Muhammad Quthub, yang concern dengan Pendidikan Islam dan pernah terlibat dalam Konferensi Dunia Pertama tentang pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977, di mana beliau ikut menyampaikan makalah yang berjudul “The Role Of Religion in Education”.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyiapkan generasi awal Islam lewat Tarbiyah Ruhiyah yang sangat visioner.
Turunnya surat Al Muzzammil pada awal periode Makkah mengisyaratkan betapa kuatnya persiapan Ruhiyah ini. Setelah mengokohkan aqidah, proses Tazkiyatunnufus berjalan sangat efektif.
Maka dalam perjalanan dakwah kapan pun terlebih di zaman modern seperti ini, kebutuhan pada tazkiyatunnufus sangat urgen di antaranya sebagai berikut.
Pembentukan Aktivis Dakwah yang Tangguh
Tazkiyatunnufus dalam konteks amal Islami merupakan salah satu asas pembentukan aktivis yang dalam kiprah perjuanganya semata mata mencari ridha Allah, jauh dari penyakit hati yang menyebabkan rusaknya amal.
Mempersiapkan jiwa dalam menerima Semua Instruksi
Tazkiyatunnufus merupakan sarana bagi seorang mu’min untuk menyiapkan jiwanya menerima perintah Allah.
Hal ini diawali dengan poses secara bertahap yang secara kongkret akan menyuburkan Ruhiyah, sebagaimana kesaksian Ibnu Mas’ud Radhiallahu Anhu dalam menerima Al-Quran cukup dengan kira-kira sepuluh ayat kemudian dihafal dan diamalkan.
Kesiapan semacam inilah yang menyebabkan Al Qur’an membuka perspektif kebahagiaan hakiki bagi mereka, membuka perspektif ilmu pengetahuan, yang tidak akan diperoleh seandainya mereka bermaksud mempelajari Al Qur’an hanya untuk rekreasi intelektual.
“Ar-ruhiyah qablad dakwah kama annal Ilma qablal qaul wal amal, ungkapan ini merupakan “ iqtibas” dari salah satu judul bab dalam kitab Shahih Bukhari, “Berilmu sebelum berbicara dan beramal,” demikian juga memiliki ruhiyah yang prima sebelum berdakwah dan berjuang.
Pada tataran aplikasinya, Ruhiyah harus diuji dengan dua ujian sekaligus, yaitu ujian nikmat dan musibah (cobaan).
Kita ingat sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika kemewahan dunia dibentangkan atas kalian, kemudian kalian saling berebut untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada generasi sebelum kalian, akhirnya kalian hancur sebagaimana generasi sebelum kalian”. (HR Bukhari dan Muslim).
Maka seorang muslim yang kualitas Ruhiyahnya prima adalah yang mampu bertahan dalam dua situasi sekaligus. Demikianlah yang pernah Nabi isyaratkan dalam sabdanya,
”Sungguh mempesona keadaan mu’min itu, jika ia mendapat anugerah nikmat, ia bersyukur, dan ia mendapatkan kebaikan dari kesyukurannya.
“Namun jika ia ditimpa musibah ia bersabar, dan ia mendapatkan kebaikan dari kesabarannya. Sikap demikian tidak akan dimiliki kecuali dari orang mu’min.”(H.R. Bukhari).
(Bersambung)