Chanelmuslim.com – Syeikh al Albani adalah seorang ulama besar dan sering disebut tokoh wahabi berdarah Balkan, Eropa. Ia telah banyak menghasilkan karya monumental di bidang hadits dan fiqh yang banyak dijadikan rujukan oleh ulama-ulama Islam di masa sekarang.
Syeikh Al Albani pernah menjadi dosen selama tiga tahun di Universitas Islam Madinah dan kemudian dilanjutkan dengan menjabat sebagai dewan tinggi Universitas Islam Madinah, tapi tahukah bahwa ia tidak pernah melanjutkan pendidikan formal ditingkat setara SMP.
Baca Juga: Syekh Abdurrauf As-Singkili, Ulama Aceh yang Produktif dalam Berkarya
Syeikh Al Albani Mendapatkan Pendidikan Langsung dari Ayahnya
Syeikh Al Albani sebenarnya bernama lengkap Muhammad Nashiruddin al-Albani lahir di Shkodër, Albania; 1914 / 1333 H – meninggal di Amman, Yordania; 2 Oktober 1999 / 21 Jumadil Akhir 1420 H; umur 84-85 tajun. Lebih dikenal di kalangan kaum Muslimin dengan nama Syaikh al-Albani atau Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, sebutan al-Albani ini merujuk kepada daerah asalnya yaitu Albania.
Syaikh al-Albani dilahirkan di Kota Askhodera (Shkodër), sebuah distrik pemerintahan di Albania. Albania pada masa itu masih termasuk negara yang menerapkan undang-undang Islam, sebagaimana halnya ketika daerah itu masih menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Ottoman, meskipun kemudian merdeka setelah Kesultanan Ottoman mengalami masa kemundurannya. Ayahnya adalah seorang ulama di sana, yaitu al-Hajj Nuh an-Najati (Haji Nuh, nama lengkapnya: Nuh bin Adam an-Najati al-Albani). Haji Nuh adalah salah satu pemuka Mazhab Hanafi di Albania dan begitu ahli di bidang ilmu syar’i yang didalaminya di Istanbul, Ibukota Kesultanan Ottoman.
Saat ideologi komunis menguasai daerah Balkan, hingga salah seorang pemimpinnya yaitu Ahmet Zog (Zog dari Albania) naik takhta, terjadilah suatu peristiwa yang kelak akan mengebiri Albania dari identitas negara Islamnya, yaitu pensekuleran undang-undang oleh Ahmet Zog. Pola politik ala Stalin mulai diterapkan di Albania, banyak terjadi perombakan undang-undang secara menyeluruh, bahkan lafadz Azan yang sangat sakral bagi umat Islam pun dipaksa untuk diucapkan dalam bahasa Albania. Maka semenjak itu menjadi maraklah gelombang pengungsian orang-orang yang masih dengan teguh mengadopsi nilai-nilai keislamannya, salah satu dari orang-orang itu adalah keluarga Haji Nuh yang memutuskan untuk migrasi ke Damaskus, ibu kota Syiria yang ketika itu masih menjadi bagian dari wilayah Syam, saat itu Syaikh al-Albani baru berusia 9 tahun.
Syaikh al-Albani tumbuh besar dan memulai lembaran-lembaran hidupnya di kota ini, latar belakangnya adalah berasal dari keluarga yang miskin, meskipun begitu pendidikan agama tetap menjadi acuan utama dalam kehidupan keluarganya. Oleh ayahnya, al-Albani kecil dimasukkan ke sebuah sekolah setingkat SD (sekolah dasar), yaitu al-Is’af al-Khairiyah al-Ibtidaiyah di Damaskus, lalu ayahnya memindahkannya ke sekolah lain. Di sekolah keduanya inilah ia selesaikan pendidikan dasar formalnya. Ayahnya tak memasukkan dirinya ke sekolah tingkat lanjutan, karena Haji Nuh memandang bahwa sekolah akademik dengan kurikulum formal ternyata tidak memberikan manfaat yang besar selain sekadar mengajari seorang anak belajar membaca, menulis, dan pendidikan wawasan serta akhlak yang sangat rendah mutunya.
Namun bukan ternyata tak sampai di sini saja, demi program pendidikan yang lebih kuat dan terarah, ayahnya pun membuatkan kurikulum untuknya yang lebih fokus. Melalui kurikulum tersebut, Syaikh al-Albani mulai belajar al-Qur’an dan tajwidnya, ilmu sharaf, dan fiqih melalui mazhab Hanafi, karena ayahnya adalah ulama mazhab tersebut.
Selain ayahnya sendiri yang mengajari, Syeikh Albani pun belajar dari ulama-ulama di daerahnya. Kehausannya akan ilmu membuay Syaikh al-Albani pun mulai mempelajari buku Maraaqi al-falaah, beberapa buku Hadits, dan ilmu balaghah dari gurunya, Syaikh Sa’id al-Burhaani. Selain itu, ada beberapa cabang ilmu yang lain yang dipelajarinya dari Imam Abdul Fattah, Syaikh Taufiq al-Barzah, dan lain-lain.
Membaca adalah hobi yang digandrunginya sejak kecil, waktu-waktu luang tak akan berlalu begitu saja melainkan akan dimanfaatkan untuk membaca. Proses belajar terus dijalaninya baik dari ayahnya, ulama-ulama maupun dari buku-buku.
Seiring dengan usianya yang semakin dewasa, ayahnya pun juga membekalinya keahlian dalam hal pekerjaan untuk menjadi modal mencari nafkahnya kelak, yaitu keahlian sebagai tukang kayu dan tukang reparasi jam. Tukang kayu adalah profesi awalnya, kemudian ia mengalihkan kesibukannya sebagai tukang reparasi jam, yang mana Syaikh al-Albani sangat mahir dalam bidang ini sebagaimana ayahnya. Karena keahlian reparasi jamnya sangat terkenal, hingga julukan as-Sa’ti (tukang reparasi jam) pun tersemat kepadanya saat itu.
Sungguh besar peran seorang ayah dalam pendidikan keluarga termasuk untuk anak dan juga istri. Lihatlah bagaimana Syeikh Al Albani tumbuh menjadi seorang pembelajar yang haus akan ilmu dengan campur tangan ayahnya. Ayahnya bahkan membuatkan kurikulum khusus bagi syeikh Al Albani dan memilihkan guru-guru lain untuk syeikh Albani belajar. Tak hanya itu, ayahnya pula mengajari life skill agar kelak Syeikh Al Albani dapat bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga.
Seorang ulama besar yang mendapatkan berbagai penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi, yaitu Penghargaan Internasional Raja Faisal pada tahun 1999 atas karya-karya ilmiahnya. Seorang ulama yang berhasil karena ayahnya turut terlibat dalam memberikan pendidikan bukan sekedar memberikan nafkah. (w/wikipedia)