ADA doa yang Rasulullah ucapkan saat melihat fajar telah terbit ketika beliau dalam perjalanan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan hal ini kepada kita,
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila sedang dalam perjalanan dan melihat fajar telah terbit, beliau berkata,
‘Mendengarlah yang bisa mendengar akan pujian kepada Allah dan nikmat-Nya, serta cobaan-Nya yang baik kepada kita.
Wahai Tuhan kami, temanilah kami dan berilah keutamaan kepada kami. Kami berlidung kepada Allah dari api neraka’. Beliau mengucapkannya tiga kali dengan suara yang keras.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu As-Sunni)
“Melihat fajar telah terbit,” maksudnya yaitu fajar sebelum masuk waktu subuh. Bukan fajar dalam arti pagi hari setelah matahari terbit. Fajar di sini adalah fajar yang diterangkan Allah dalam firman-Nya dalam ayat puasa,
“Makan dan minumlah kalian hingga tampak jelas benang putih dari benang hitam bagi kalian di waktu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
“Mendengarlah yang bisa mendengar,” maksudnya beliau tunjukan kepada siapa pun yang bisa mendengar yang berada di sekitar tempat itu. Baik itu makhluk yang kasat mata, seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Ataupun makhluk yang tidak tampak di mata, seperti jin dan malaikat.
Baca Juga: Meneladani Rasulullah dalam Mendidik Generasi Sahabat
Saat Rasulullah Melihat Fajar Terbit dalam Perjalanan
Bahkan, pasir dan bebatuan pun dapat juga dimasukkan ke dalam kategori ini, karena mereka juga bertasbih kepada Allah namun kita tidak mengetahui bentuk tasbihnya.
Apa yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis ini, adalah doa yang biasa beliau baca manakala dalam perjalanannya menyaksikan fajar telah terbit.
Demikian pula yang semestinya kita lakukan apabila dalam suatu perjalanan, kita menyaksikan terbitnya fajar atau manakala fajar telah menyingsing.
Namun apabila kita sempat bermalam dalam perjalanan, dan kita terlambat bangun pada keesokan harinya, maka kita tidak perlu membaca doa ini. Karena memang kita tidak menyaksikan fajar terbit.
Yang harus kita lakukan jika terlambat bangun adalah bersegera mengambil wudhu dan mengerjakan shalat subuh.
Dan, hal inilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika pernah dalam suatu kali perjalanannya, beliau dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum terlambat bangun dikarenakan kelelahan yang amat sangat.
Selanjutnya, jika memperhatikan kebiasaan Nabi dalam hal ini, akan kita dapatkan bahwa ketika beliau menyaksikan fajar menyingsing, beliau dalam keadaan bangun.
Artinya, beliau memang sudah bangun dari tidurnya sebelum terbit fajar. Dan sebagaimana kita ketahui, kebiasaan beliau pada malam hari adalah senantiasa mengerjakan shalat malam. Terutama di waktu sepertiga akhirnya.
Dan, beliau tidak pernh meninggalkan shalat malamnya –khususnya shalat witir– di mana pun beliau berada. Baik ketika bepergian ataupun saat bermalam di rumah.
Itulah makanya, jumhur ulama mengatakan bahwa shalat witir hukumnya sunnah muakkadah. Bahkan, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum shalat witir adalah wajib.
(Sumber: 165 Kebiasaan Nabi, Abduh Zulfidar Akaha, Pustaka Al-Kautsar)
[Ln]