ChanelMuslim.com – Renungan kematian di pinggir pantai Jepang. Bila ajal tiba. Matahari bersinar terik. Suhu di luar mobil sekitar 35 derajat.
Alhamdulillah, nyala AC di dalam mobil membuat perjalanan kami di pertengahan bulan Ramadan ini menjadi nyaman,
meskipun sinar matahari tetap membuat dek Hafiz, yang duduk di depan bersama si Abi, mengeluh karena kepanasan.
Baca Juga: Jepang Peringati 5 Tahun Bencana Tsunami
Oleh: Hifizah Nur (Founder Hikari Parenting School)
Kami sedang dalam perjalanan menuju Hamamatsu untuk memenuhi undangan buka puasa bersama.
Kota di pinggir pantai di Jepang bagian tengah itu memang cukup banyak menampung para pekerja dari Indonesia.
Dan kebetulan juga adik saya, yang sedang menjalani studi di Shizuoka University, tinggal bersama isteri dan si kecil Aziz-kun di sana.
Rasa kangen yang membuncah, membayangkan pipi putih yang montok si Aziz, celoteh tak bermakna yang sudah mulai keluar dari mulut mungilnya, membuat saya tak sabar, ingin cepat sampai ke sana.
Baca Juga: Toggle Hotel, Hotel Penuh Warna di Jepang
Perjalanan ke Hamamatsu
Memakai jalur 23 melewati kota Toyohashi, perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri pesisir pantai jalur 1.
Di Jepang semua jalan memakai nomor/angka. Misalnya jalur 1 adalah jalan negara yang membentang menghubungkan kota Tokyo dengan kota-kota di Jepang bagian tengah.
Jadi, kalau kita memakai jalur 1 dari Tokyo, meskipun tidak secepat jalan tol, insya Allah akan bisa sampai ke Nagoya, Kyoto dan Osaka.
Cocok untuk perjalanan wisata santai yang tidak diburu waktu.
Perjalanan kami diisi dengan obrolan santai, kadang diselingi pertengkaran kecil si Dedek dan Kakak. Setelah melewati Toyohashi, kami masuk ke jalur satu, melewati pesisir pantai laut Pasifik.
Alunan nasyid lembut mengiringi perjalanan kami. “a..Umi da..”
Aku menunjuk ke sebelah kanan mobil. Hanya berjarak beberapa ratus meter terbentang luas laut pasifik yang membiru. ‘Umi’ dalam bahasa Jepang, berarti laut dalam bahasa Indonesia.
Anak-anak dengan antusias melihat laut. Beberapa buah perahu juga terlihat berbaris di pinggir pantai.
Sejenak hening di dalam mobil, semua larut dalam pikiran masing-masing.
Baca Juga: Gempa Berkekuatan 7,1 Magnitudo Guncang Fukushima Jepang
Renungan Kematian, Gempa dan Tsunami di Miyagi, Touhoku, Jepang
Tiba-tiba aku teringat, baru berlalu beberapa bulan sejak terjadi gempa dan tsunami di daerah provinsi Miyagi, Touhoku Jepang.
Sejenak bulu kudukku merinding, membayangkan, kalau saja kejadian tsunami itu tiba-tiba berlangsung.
“Nak, kalau saat ini terjadi tsunami, kita enggak bisa lari ke mana-mana, cuma bisa pasrah kepada Allah saja,” cetusku tiba-tiba.
Si Kakak yang duduk di sampingku memandangku ngeri.
“Ummi..kowai..” katanya, tubuhnya semakin merapat, tangannya semakin kuat melingkari pinggangku.
Aku memejamkan mata..merasakan ketakutan yang sama. Suasana di mobil serasa mencekam.
Kalau terjadi tsunami, tidak ada jalan lain untuk lari. Laut hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari arah kanan kami.
Rekaman peristiwa tsunami yang aku lihat lewat internet kembali terbayang.
Gelombang besar menerjang jalan dan gedung-gedung di pinggir pantai hanya dalam hitungan menit. Mobil-mobil yang sedang lalu lalang, terseret ombak sampai beberapa kilo meter jauhnya.
Kisah orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri, terbawa arus gelombang tak berdaya.
Baca Juga: Banyaknya Kematian Mendadak
Bekal Kematian
Aku jadi merenung..
kalau tiba-tiba ajal menjemput, apakah bekalku dan suami sudah cukup untuk ditukar dengan syurganya Allah?
Rasanya, amal kebaikan ini masih sangat sedikit..tidak bisa menjamin kami untuk bisa selamat di kehidupan sesudah mati nanti.
Kalau tiba-tiba malaikat Izroil datang, mencabut nyawa kami, apakah Allah ridho dengan perbuatan-perbuatan kami?
Apakah Rasulullah bersedia mengakui kami sebagai umatnya di hari kiamat nanti? Sementara, hanya berapa persen dari hidup kami yang sesuai dengan syariat Islam yang dibawanya.
Terbayang waktu yang sia-sia berlalu tanpa manfaat. Terbayang perkataan dan perbuatan yang menyakiti hati orang-orang di sekeliling kami.
Juga amal-amal yang kadang tidak bersih dari rasa bangga dan riya, mengaharapkan pujian dari orang lain.
Apakah semua dosa kami cukup dibayar dengan istighfar menjelang kematian? Itu pun kalau lidah kami sanggup mengucapkannya di sela-sela dahsyatnya kematian…
“Ummi…”si Kakak menggoyang-goyangkan tubuhku..
Aku bisa merasakan ketakutan yang sangat di matanya.
Tidak ingin membuatnya khawatir, aku tersenyum.
Baca Juga: Detik-detik Kematian Utsman bin Affan
“Enggak apa-apa kak, kalau anak kecil meninggal, insya Allah langsung masuk syurga.” kataku memandang matanya, lembut.
“yang menjadi masalah itu, Ummi dan Abi..apa bisa langsung masuk syurganya Allah atau enggak..” tuturku sedih..
“Tapi insya Allah, kalau kakak dan dedek jadi anak sholih, kita bisa di syurga sama-sama,” sambungku. Doa anak yang sholih, bisa menjadi pemberat timbangan kebaikan orang tua di akhirat kelak.
Aku tidak ingin anak-anak ketakutan sepanjang perjalanan. Pembicaraan kualihkan ke topik yang lain.
Namun, benakku masih menyimpan ketakutan.
Ramadan ini, apakah Sang Penguasa hari kiamat berkenan mengampuni dosa-dosa kami?
Ya Robb…Hanya kepada Engkaulah kami berharap, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
Semoga Allah menghimpunkan kita di dalam jannahnya…[ind]