ChanelMuslim.com- Rezeki adalah segala hal yang bermanfaat yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Dia tidak terbatas pada uang dan harta.
Rezeki bisa juga istri yang shalihah bagi seorang suami, suami yang shalih bagi seorang istri, anak yang shalih, kesehatan, sahabat yang baik, tetangga yang baik, dan apapun yang bermanfaat buat kehidupan kita.
Bisa jadi, seseorang dilebihkan harta, tapi rezeki lainnya dia tidak memilikinya seperti kesehatan, atau anak yang shalih.
Atau dia sehat, tetapi secara harta biasa saja, dan bisa jadi ada yang punya semuanya. Memandang rezeki seperti ini lebih memunculkan sikap bersyukur atas apa yang sudah dimiliki.
Baca Juga : Mendapatkan Pahala Silaturahmi Tanpa Berkunjung
Berikut ini adalah beberapa pintu rezeki yang mesti kita ketahui:
Oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah
Taqwa kepada Allah
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (Q.S. AthThalaq, Ayat 2-3)
Secara bahasa taqwa kepada Allah Ta’ala adalah takut [khauf] kepada Allah. (Tafsir Al Muyassar, 1/292, 1/401)
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu Anhu berkata tentang taqwa:
أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر
Yaitu taat dan tidak ingkar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87)
Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan:
وهو استفراغ الوسع في القيام بالواجب والاجتناب عن المحارم
Taqwa adalah mengerahkan potensi dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. (Anwarut Tanzil, 1/373)
Rezeki yang Allah Ta’ala berikan bagi orang yang bertaqwa bukan hanya dunia, tapi juga akhirat
Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
مَخْرَجًا مِنْ شُبُهَاتِ الدُّنْيَا وَمِنْ غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَمِنْ شَدَائِدِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Jalan keluar dari syubhatnya dunia, dari kematian yang menyedihkan, dan dari kerasnya hari kiamat. (Tafsir Al Qurthubi, 18/160) 2)
Baca Juga : Dewi Sandra: Teguran Bisa Jadi Sebuah Kenikmatan
Bekerja dan Berusaha
Bekerja dan berusaha jelas adalah upaya yang syar’iy, masuk akal, dan sunnatullah kehidupan.
Bukan hanya manusia, hewan pun bekerja, walau seluruh makhluk sudah dijamin rezekinya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’d, Ayat 11)
Ayat yang lain:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah, Ayat 105)
Dari Rafi’ bin Khadij, dikatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?” Beliau bersabda: “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” (H.R. Ahmad No. 17265, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih)
Para nabi pun bekerja, Nabi Daud ‘Alaihissalam makan dari usahanya sendiri, Nabi Zakariya ‘Alaihissalam sebagai tukang kayu.
Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari. Mari kita bekerja yang halal menuju pribadi yang qaadirun ‘alal kasbi – mampu mencari nafkah sendiri, tidak meminta-minta atau mengemis.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Qabishah:
قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh [tidak halal] kecuali untuk tiga golongan. [Satu] orang yang menanggung utang [gharim, untuk mendamaikan dua orang yang saling bersengketa atau seumpamanya]. Maka orang itu boleh meminta-minta, sehingga utangnya lunas. Bila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta. [Dua] orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya. [Tiga] orang yang ditimpa kemiskinan, [disaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang dipercayai bahwa dia memang miskin]. Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak. Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.” (H.R. Muslim No. 1044)
Tawakal kepada Allah Ta’ala
Yaitu menyerahkan hasilnya apa yang sudah kita usahakan, kepada Allah Ta’ala.
Apa yang kita lakukan dan doakan seakan menjadi proposal kepada Allah Ta’ala, biarlah Allah Ta’ala yang memantaskannya; diterima atau ditolak.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya. (Q.S. Ath-Thalaq: 3)
Mengapa kita bertawakal setelah berusaha? Karena Allah Ta’ala yang Mahakaya, Mahakuat, oleh karena itu kita bergantung kepadaNya, bukan kepada usaha sendiri. Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’diy Rahimahullah menjelaskan:
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ} أي: في أمر دينه ودنياه، بأن يعتمد على الله في جلب ما ينفعه ودفع ما يضره، ويثق به في تسهيل ذلك {فَهُوَ حَسْبُهُ} أي: كافيه الأمر الذي توكل عليه به، وإذا كان الأمر في كفالة الغني القوي [العزيز] الرحيم، فهو أقرب إلى العبد من كل شيء، ولكن ربما أن الحكمة الإلهية اقتضت تأخيره إلى الوقت المناسب له
[Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah] yaitu dalam urusan agama dan dunianya, dengan menyandarkan
kepada Allah Ta’ala dalam meraih manfaat dan menolak bahaya, dan meyakininya hal itu mudah bagiNya. [Maka
Allah akan mencukupkan baginya] yaitu mencukupi urusan yang dia tawakalkan itu. Jika urusan dibawah kuasa
dan tanggungan yang Mahakaya, Mahakuat, Mahaperkasa, dan Maha Penyayang, maka hal itu lebih dekat
kepada hamba tersebut dibanding apapun juga. Tetapi bisa jadi ada hikmah ilahiyah, bahwa keinginannya itu
tertunda dan diberikan di waktu yang tepat. (Tafsir As Sa’diy, 1/869)
Menikah
Menikah adalah salah satu pintu rezeki. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak [menikah] dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas [pemberian-Nya] lagi Maha Mengetahui. (Q.S. An Nuur: 32)
Tentang ayat ini, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
رَغَّبَهُمُ اللَّهُ فِي التَّزْوِيجِ، وَأَمَرَ بِهِ الْأَحْرَارَ وَالْعَبِيدَ، وَوَعَدَهُمْ عَلَيْهِ الْغِنَى
Allah mendorong mereka untuk menikah, memerintahkan bagi orang merdeka dan budak, dan Allah janjikan kepada mereka kekayaan.
Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
الْتَمِسُوا الْغِنَى فِي النِّكَاحِ
Carilah kekayaan pada pernikahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir) So, istri shalihah adalah rezeki, suami shalih adalah rezeki, anak yang shalih adalah rezeki.
Sewaktu bujangan hanya jadi anak kost, kasur satu, meja satu, lemari satu, setelah nikah Allah Ta’ala beri tambahan. Insya Allah. Buktikan!
Namun ridha Allah adalah tujuan tertinggi, kekayaan hanyalah dampak moral dari ketundukan dan ikutan kita kepada salah satu sunnah NabiNya, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu nikah. Wallahu A’lam.[Ind/Wld]