Chanelmuslim.com – Marilah kita dengarkan dialog yang terjadi antara Abu Musa dengan Amru bin Ash diawal pertemuan mereka, yang dikutip dari buku al-Akhbar ath-Thiwal karya Abu Hanifah ad-Dainawari.
Abu Musa : “Hai Amru, apakah kamu setuju dengan solusi yang membawa kemaslahatan bagi umat dan menghadirkan ridha Allah?”
Baca Juga: Perundingan Kelompok Khalifah Ali dan Mua’wiyah (2)
Perundingan Kelompok Khalifah Ali dan Mua’wiyah (3)
Amru : “Apakah itu?”
Abu Musa: “Kita angkat Abdullah bin Umar. la sama sekali tidak ikut campur dalam peperangan ini.”
Amru : “Bagaimana kalau kita mengangkat Mu’awiyah?”
Abu Musa : “Dia tidak layak dan tidak berhak.”
Amru : “Bukankah kamu tahu kalau Utsman dibunuh secara aniaya?”
Abu Musa : “Tentu aku tahu.”
Amru : “Mu’awiyah masih keluarganya dan kamu juga tahu bagaimana kedudukan keluarganya di kalangan orang-orang Quraisy? Jika ada yang mengatakan, “Mengapa ia diangkat menjadi Khalifah, padahal dia bukan termasuk orang-orang yang pertama-tama masuk Islam?” maka kamu bisa memberi alasan, “Dia masih keluarga Utsman dan Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang di-bunuh secara aniaya, maka Kami berikan kekuasaan kepada walinya. Selain itu, dia adalah saudara Ummu Habibah, istri Nabi saw. Dia juga salah seorang dari sahabatnya.”
Abu Musa : “Wahai Amru, takutlah kepada Allah. Mengenai kemuliaan Mu’awiyah, maka seandainya jabatan Khalifah dapat diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhak menjadi Khalifah ialah Abrahah bin Shabah, karena ia keturunan raja-raja Yaman at- Tababi’ah yang menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan Mu’awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib? Adapun katamu bahwa Mu’awiyah wali Utsman, maka ada yang lebih berhak darinya, yaitu putra Utsman sendiri; Amru bin Utsman. Tetapi jika kamu bersedia, kita hidupkan kembali kenangan terhadap Umar bin Khat-hthab dengan mengangkat putranya, yaitu Abdullah bin Umar, sang maha guru itu.”
Amru : “Kalau begitu, mengapa tidak putraku saja, Abdullah? Bukankah ia memiliki keutamaan dan keshalihan. la juga seorang Muhajirin dan terbilang sebagai sahabat Nabi?”
Abu Musa : “Putramu memang seorang yang jujur. Tetapi, kamu telah menyeretnya ke peperangan ini. Karena itu, mari kita serahkan kepada orang baik, putra dari orang baik, Abdullah bin Umar.”
Amru : “Wahai Abu Musa, urusan ini hanya layak bagi laki-laki yang memiliki dua gigi graham: yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk memberi makan.”
Abu Musa : “Keterlaluan kamu ini, Amru. Kaum muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita, setelah mereka terlibat dalam pertempuran. Jangan sampai kita kembalikan mereka pada kekacauan lagi.”
Amru : “Jadi, apa pendapatmu?”
Abu Musa : “Kita tanggalkan jabatan Khalifah dari mereka berdua (Ali dan Mu’awiyah), kemudian kita serahkan kepada syura kaum muslimin yang akan memilih siapa yang mereka inginkan sebagai Khalifah.”
Amru : “Aku setuju dengan pendapat ini. Sungguh, pendapat ini akan membawa kebaikan bagi segenap rakyat.”
Dialog ini benar-benar mengubah gambaran yang biasa kita kenal tentang Abu Musa al-Asy’ari, setiap kita teringat akan peristiwa Tahkim ini. Ternyata, Abu Musa jauh sekali dari lengah atau lalai. Bahkan, dalam dialog ini, kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan Amru bin Ash yang terkenal licik.
Ketika Amru ingin memaksa Abu Musa untuk menerima Mu’awiyah sebagai Khalifah dengan alasan kebangsawanannya di tengah-tengah suku Quraisy dan kedudukannya sebagai wali dari Utsman, maka Abu Musa menjawabnya dengan jawaban yang cerdas dan mematikan bagai mata pedang.
Jika jabatan Khalifah diperoleh berdasarkan kebangsawanan, maka Saw. Abrahah bin Shabbah yang keturunan raja-raja itu lebih berhak menduduki jabatan Khalifah daripada Mu’awiyah. Dan jika berdasarkan kedudukan sebagai wali Utsman dan pembela haknya, maka putra Utsman sendiri lebih berhak daripada Mu’awiyah.
Apa yang terjadi dalam proses Tahkim setelah dialog ini menjadi tanggung jawab Amru bin Ash.
Abu Musa telah menyerahkan pemilihan Khalifah kepada umat. Amru juga sudah setuju dengan pendapat ini. Sama sekali tidak terpikirkan oleh Abu Musa bahwa dalam suasana yang sangat genting ini, suasana yang mengancam keutuhan Islam dan kaum muslimin, Amru masih bersilat lidah, meskipun ia begitu fanatik kepada Mu’awiyah.
Ketika ia kembali kepada kaum muslimin, lalu memberitahukan hasil perundingan, ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas dari silat Iidah Amru, “Demi Allah, aku khawatir Amru telah menipumu. Jika sudah ada kesepakatan di antara kalian, maka persilakan dia terlebih dahulu untuk mengumumkan hasil kesepakatan. Setelah itu, giliran kamu yang mengumumkan hasil perundingan.”
Akan tetapi, Abu Musa masih meyakini bahwa Amru tidak akan bersilat Iidah dalam suasana segenting ini. Karena itu, ia tidak ragu sama sekali akan sikap dan komitmen Amru terhadap kesepakatan yang telah dicapai.
Keesokan harinya, mereka berdua berkumpul. Abu Musa mewakili pihak Khalifah Ali dan Amru bin Ash mewakili pihak Mu’awiyah.
Abu Musa mempersilakan Amru untuk bicara. Namun, Amru menolak dan berkata, “Tidak mungkin aku mendahuluimu, sementara kamu lebih mulia, lebih dulu masuk Islam, dan lebih tua.”
Abu Musa tampil di depan masyarakat dari kedua belah pihak.
la berkata, “Wahai saudara sekalian, kami telah melihat sesuatu yang dapat menghimpun kembali kesatuan umat dan membawa kebaikan bagi umat. Kami tidak melihat jalan yang lebih tepat selain melepas jabatan Khalifah dari dua orang ini (Ali dan Mu’awiyah) lalu menjadikan keputusan pemilihan Khalifah melalui syura kaum muslimin. Ketahuilah bahwa aku telah melepas Ali dan Mu’awiyah dari jabatannya. Maka, hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk menjadi Khalifah kalian.”
Lalu, sekarang giliran Amru untuk mengumumkan penurunan Mu’awiyah dari jabatannya sebagaimana telah dilakukan Abu Musa terhadap Ali, sebagai realisasi dari kesepakatan di hari sebelumnya. Amru naik ke podium dan berkata, “Wahai saudara sekalian, Abu Musa telah mengatakan apa yang telah kalian dengar. la juga telah melepaskan sahabatnya dari jabatannya. Ketahuilah bahwa aku juga telah melepaskan sahabatnya itu dari jabatannya seperti yang Abu Musa lakukan, dan aku mengukuhkan sahabatku, Mu’awiyah, karena dia adalah wali dari Khalifah Utsman, penuntut haknya dan orang yang paling berhak menduduki jabatannya.”
Abu Musa tidak tahan dengan kejadian yang tidak di-sangka-sangka itu, lalu menegur Amru dengan kata-kata keras penuh kemarahan.
Setelah peristiwa itu, ia kembali mengasingkan diri. la mengayunkan langkah kakinya ke Mekah, di dekat Baitul Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.” []
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Itihsom