Syari’at hadir bertujuan menyebarkan kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan ini tentunya berkaitan dengan ketaatan kepada Allah. Dalam hal yang berkaitan dengan hubungan sosial wanita, Islam sendiri tidak pernah melarang mereka berekspresi dengan minatnya dan berinteraksi dengan lawan jenisnya untuk suatu kemaslahatan.
Dalam Islam ada dua hal yang harus diterapkan terkait hal ini, yaitu kaidah saddudzdzari’ah dan prinsip kemudahan.
Baca Juga:Benarkah Laki-Laki Hanya Mencari Wanita yang Cantik?
Penerapan Saddudzdzari’ah dalam Hubungan Sosial Wanita
Pengertian dari saddudzdzari’ah adalah upaya pencegahan agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dalam hal hubungan sosial wanita, menghindari terjadinya perzinahan, pelecehan, hingga kerusakan moral pada wanita menjadi fokus dari saddudzdzari’ah.
Namun konsep ini tidak bermaksud menghilangkan sama sekali peran wanita dalam kehidupan sosial. Banyak yang salah paham terkait konsep ini, sehingga meniadakan peran wanita di publik.
Prinsip kemudahan juga menjadi pertimbangan, dimana Islam tetap memberikan batasan tanpa harus mengekang potensi wanita.
Sebagai buktinya Islam telah mengatur beberapa kebolehan wanita berinteraksi dengan lawan jenisnya, diantaranya:
1. Kebolehan wanita melihat laki-laki, tentunya dengan adab dan batasan yang telah diatur. Dalam surah An-Nuur ayat 30 hingga 31 Allah berfirman:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)…”
Dari dua ayat ini, Allah bukan melarang laki-laki dan wanita tidak saling melihat sama sekali tetapi memberlakukan aturan untuk menghindari fitnah atas kemungkinan yang akan terjadi, yaitu dengan menjaga pandangan dan menutup aurat atas munculnya hawa nafsu yang menjadi pintu fitnah.
2. Islam juga membolehkan pertemuan antara laki-laki dan wanita demi kemaslatahan. Islam tidak pernah melarangnya karena alasan saddudzdzari’ah. Walaupun begitu konsep saddudzdzari’ah tetap harus ditegakkan dengan batasan tertentu, sebagaimana dalil berikut:
“Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali disertai dengan mahramnya.” (H.R. Bukhari)
Ini artinya, pertemua laki-laki dan wanita boleh dilakukan asalkan menerapkan batasan, seperti tidak berdua-duaan atau ditemani oleh mahramnya.
3. Jika pada point sebelumnya laki-laki dan wanita dibolehkan melihat dan bertemu, Islam juga membolehkan terjadinya percakapan antara keduanya. Adanya saddudzdzari’ah bukan untuk meniadakan percakapan laki-laki dan wanita secara total.
Batasan yang harus diterapkan adalah menutup kemungkinan timbulnya fitnah dengan menghindari pembicaraan-pembicaraan yang tidak penting atau yang tidak berkaitan dengan kemaslahatan Islam. Jika Islam melarangnya secara total maka tentunya para sahabat tidak ada yang berguru kepada Aisyah untuk menerima hadis.
4. Islam juga membolehkan wanita bepergian, dengan aturan sebagimana firman Allah:
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan. Islam hadir untuk membimbing manusia kepada kebaikan. Oleh karena itu tidak ada diskriminasi terhadap satu golongan tertentu untuk turut serta dalam membangun kemaslahatan umat.
Walaupun begitu Islam tetap mengatur dan menghindari terjadinya kerusakan yang menjadi penghalang tercapainya kemaslahatan tanpa menghilangkan potensi manusia sebagai pemakmur bumi, terutama wanita. [Ln]