MENYIKAPI tergelincirnya seorang alim. Tidak jarang, banyak sekali fenomena ketika orang sudah dikenal baik, tetapi tiba-tiba dia dikabarkan melakukan perbuatan yang buruk.
Tabiat manusia banyak berbuat salah, banyak kekhilafan, banyak kekurangan, sekalipun dia orang yang paling berilmu dan paling bertaqwa.
Baca Juga: Tanda-Tanda Anak Mengalami Bullying di Sekolah dan Cara Menyikapinya
Menyikapi Tergelincirnya Seorang Alim
Sudah semestinya para penuntut ilmu mengedepankan husnudzdzhon (baik sangka), memberi udzur, dan tidak terburu-buru mengambil sikap ketika mendapati seorang alim tergelincir dalam kesalahan.
Syaikh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad menasihatkan:
ليس العصمة لأحد بعد رسول الله ﷺ فلا يسلم عالم من خطأ ومن أخطأ لا يتابع على خطئه ولا يتخذ ذلك الخطأ ذريعة إلى عيبه و التحذير منه بل يغتفر خطؤه القليل في صوابه الكثير
“Tidak seorangpun terjaga dari kesalahan selain Rasulullah. Seorang alim tidak ada yang selamat dari kesalahan dan barangsiapa yang terjatuh dalam kesalahan maka tidak boleh diikuti kesalahannya dan tidak boleh menjadikan kesalahannya itu sebagai sarana untuk membongkar aibnya dan menjauhkan umat darinya.
Bahkan kesalahannya yang sedikit diampuni lantaran kebenarannya yang banyak.
ومن كان من هؤلاء العلماء قد مضى فيستفاد من علمه مع الحذر من متابعته على الخطأ ، و يدعى له و يترحم عليه
Dan barangsiapa yang telah wafat di antara Ulama tersebut maka tetap diambil faidah ilmunya dengan tetap berhati-hati dari mengikuti kesalahannya, didoakan kebaikan, dan didoakan rahmat atasnya.
ومن كان حيا سواء كان عالما أو طالب علم ينبه على خطئه برفق و لين و محبة لسلامته من الخطأ و رجوعه إلى الصواب
Dan barangsiapa yang masih hidup baik dia seorang Ulama atau penuntut ilmu maka kesalahannya diingatkan dengan kelembutan, keramahan, dan kecintaan agar dia selamat dari kesalahannya serta merujuk kepada kebenaran.” (Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah hal. 22)
Berselisih pendapat perkara yang lumrah terjadi di kalangan Salaf. Perselisihan itu tidak hanya menyangkut masalah fiqh seperti cara sholat atau jual beli, bahkan terkadang menyentuh perkara i’tiqod atau furu’ aqidah.
Namun apabila seseorang diketahui di atas ilmu dan pemahaman yang benar, landasannya mengikuti Al-Qur’an was Sunnah serta ijma’ Salaf, berloyalitas dengan Ahlussunnah, berlepas diri dari bid’ah dan ahlinya, maka bila terjatuh dalam kesalahan-kesalahan tidak lantas mengeluarkan dirinya dari Ahlussunnah kecuali bila benar-benar telah terbukti bahwa dia termasuk ahli bid’ah.
Para ulama membedakan antara ahli bid’ah dengan orang yang terjatuh dalam kebid’ahan.
Bid’ah itu sendiri bertingkat-tingkat, ada kebid’ahan yang sampai derajat kekufuran, ada yang di bawahnya, maka dalam perkara ini sudah sepatutnya para penuntut ilmu memiliki sifat waro’ yaitu kehati-hatian di atas ilmu dan pemahaman.
[Cms]
Sumber: Ebook “Rambu-Rambu Menuntut Ilmu”
https://t.me/manhajulhaq