DALAM era modernisasi dan globalisasi, pemahaman tentang pluralisme agama sering dianggap sebagai prasyarat bagi toleransi dan kerukunan beragama. Namun, pemahaman mendalam tentang apa itu pluralisme agama dan bagaimana Islam memandangnya, menjadi suatu hal yang krusial untuk ditelaah.
Hal ini menjadi sorotan utama dalam perkuliahan pekan ke-17 Sekolah Pemikiran Islam (SPI), yang diselenggarakan pada Hari Rabu, 20 Desember 2023, di Aula Imam Al-Ghazali INSISTS Kalibata, Jakarta Selatan.
Akmal Sjafril, penulis buku “Islam Liberal 101” menekankan terdapat perbedaan mendasar antara pluralitas agama sebagai keberadaan berbagai agama dalam masyarakat dan pluralisme agama yang mengakui semua agama sama dan benar.
Baca Juga: Mispersepsi terhadap Feminisme, Delusi Kesetaraan Gender Diluncurkan
Kandidat Doktor sejarah Universitas Indonesia ini juga menambahkan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang menerima perbedaan tersebut sampai hari kiamat nanti.
“Pluralisme itu menyatakan semua agama sama dan benar. Tapi, sebagaimana ditekankan oleh Dr. Anis Malik Taha, penulis ‘Tren Pluralisme Agama,’ definisi pluralisme agama jarang dijelaskan secara mendalam, bahkan seorang tokoh seperti Gus Dur tidak pernah menjelaskan definisi pluralisme,” ujar Akmal.
Beberapa tokoh dari Indonesia yang berusaha mendefinisikan hal tersebut pun bisa dianggap “gagal” karena tidak dapat menjelaskan secara utuh.
Ia juga menggarisbawahi berbagai tren global pluralisme dalam pemahaman agama, termasuk Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkretisme, Hikmah Abadi, dan Teosofi, yang masing-masing memberikan dampak terhadap evolusi agama di era globalisasi.
Dari Humanisme Sekuler yang antroposentris hingga Teosofi dengan penekanan pada ajaran mistis, setiap tren ini memberikan gambaran tentang bagaimana agama-agama di dunia saling berinteraksi dan berevolusi dalam era globalisasi.
Tak ketinggalan, bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh pluralisme agama juga tidak luput dipaparkan dalam pembahasan. Akmal menyatakan bahwa pluralisme bisa membawa dampak terhadap munculnya paham menyimpang lain seperti sekularisme dan skeptisisme, serta agama-agama baru yang seragam.
Islam menawarkan solusi terhadap pluralitas agama dengan mengakui perbedaan dan identitas masing-masing agama, sesuai yang dijelaskan pada ayat terakhir surat Al-Kafirun yaitu “lakum diinukum wa liya diin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Dalam surat tersebut secara gamblang dijelaskan dengan tegas penolakan konsep kesamaan agama.
Shabrina, seorang legum magister dari salah satu kampus di Amerika, membagikan kesan positifnya setelah mengikuti pertemuan ini,
“Kelas kemarin membuat saya menyadari pentingnya memahami konsep diin dan tauhidullah secara mendalam, agar tidak terjebak dalam pluralisme dan isme-isme lain yang menyusup ke masyarakat Indonesia.
Harapannya, kita yang telah memahami konsep ini dapat menyaring dan menyebarluaskan pemahaman yang tepat kepada masyarakat, untuk menjaga Indonesia dari ideologi yang mengatasnamakan toleransi namun berpotensi intoleran”.
Penulis: Safira Salsabillah dan Amrina Husna
[Ln]