ALUMNUS Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta sekaligus aktivis dakwah #IndonesiaTanpaJIL, Anila Gusfani, mengupas strategi kaum feminis dalam menyebarkan paham feminismenya melalui balutan isu yang menarik simpatik, yakni kesetaraan gender.
Penjelasan tersebut disampaikan dalam kelas bertema “Gender dan Feminisme” pada perkuliahan SPI Jakarta di aula INSISTS Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (14/11),
Sejarah lahirnya feminisme, aliran feminisme, istilah gender hingga bagaimana dampak dari ideologi ini di Indonesia menjadi topik yang dijelaskan Anila untuk dapat memberi pemahaman mendasar bagi para murid SPI Angkatan 13 yang berlatar belakang dari berbagai profesi.
Baca Juga: Hukum Menjaga Aurat Wanita terhadap Transgender
Mengupas Delusi Gerakan Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan
“Paham feminisme berangkat dari doktrin pendeta Tertullian pada tahun 150M dan John Chrysostom 345M-407M dalam lingkungan gereja Barat yang tidak mengakui eksistensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan dianggap sebagai sumber dosa,” ujar aktivis Sirah Community Indonesia tersebut.
“Tentunya hal-hal ini tidak ditemui dalam ajaran dan doktrin-doktrin Islam yang sudah dipahami di Indonesia. Sejak abad ke-7 M, agama Islam telah menepatkan perempuan dalam posisi yang begitu mulia,” lanjutnya.
Dari paham feminis tersebut lahirlah gerakan “Women Movement”, yang menjadi bentuk ekspresi rasa sakit hati kaum perempuan atas ketimpangan sosial dan ketidakberpihakan gereja terhadap kaum mereka.
Lebih lanjut, Anila menambahkan bahwa perkembangan konsep gender yang diusung kaum feminis tahun 1970 terjadi karena stereotype dari Gerakan “Women Movement” yang negatif di kalangan mereka.
Indonesia dengan latahnya menuntut persamaan hak perempuan atau emansipasi wanita hingga memengaruhi proses pemerintah mengambil kebijakan berupa lolosnya mimpi buruk umat, yakni disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Perlu diperhatikan juga bahwa istilah gender dengan seks dalam pemahaman mereka itu berbeda. Seks dimaknai sebagai perbedaan biologis seorang laki-laki dan perempuan yang sudah dibawa sejak lahir. Sedangkan, gender adalah karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan dibangun dalam lingkungan sekitar atau masyarakat.”
Para murid pun dibuat geram dalam setiap konsep yang lahir dari feminis dan konsep gender yang sungguh membingungankan, terdapat lebih dari 100 jenis gender yang ada di dunia.
Hal ini terjadi akibat pemuda muslim tidak memahami hakikat hidup sebagai hamba dan konsep fitrah laki-laki dan perempuan yang dijelaskan dalam Islam, padahal semua itu lengkap tertuang dalam pedoman hidup kita yakni, Al-Qur’an dan sunnah.
Anila pun melanjutkan bagaimana Islam memandang perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an memberi ruang kesetaraan laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya, sebagaimana dalam QS. Al Hujurat ayat 13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat yang dibacakan pada sesi pembukaan kelas ini menerangkan bagaimana Allah memandang sama antara laki-laki dan perempuan, dan yang membedakan adalah ketaqwaannya. Anila juga mengutip kalimat Ustadz Henri Shalahuddin dalam buku Indahnya Keserasian Gender Dalam Islam.
Dalam buku itu dinyatakan, “Perbedaan ada untuk saling melengkapi, mengenali dan mendorong tanggung jawab antar kedua belah pihak, bukan untuk mengurangi atau menindas eksistensi satu pihak”.
Permasalahan mendasar lahir dari worldview kaum feminis yang tidak menggunakan Islam sebagai cara mengambil keputusan, sikap, dan ideologi yang menentukan.
Pada sesi diskusi, tampak antusiasme para murid begitu tinggi, terutama kaum laki-laki. Mayoritas pertanyaan datang dari konsep “The Genderbread Person” yang diterangkan Anila sebelumnya.
Founder “baca_bareng” itu pun memberi pesan penutup dengan menunjukan gambar visual laki-laki, perempuan dan anak-anak sebagai satu instrumen keluarga yang tepat di layar presentasinya.
“Maka diperlukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan untuk melawan paham feminis ini. Laki-laki harus membuktikan diri sebagai qowwam yang baik, begitu juga perempuan berusaha menajalankan kewajibannya untuk patuh terhadap suami,” ujarnya sebagai pengingat.
Safira, aktivis dakwah Hijraschool menyampaikan kesan pesannya dalam kelas ini, “Islam menghargai wanita dan memandang perbedaan gender sebagai kekuatan komplementer, bukan alat penindasan. Maka dari itu, kesalahpahaman tentang feminisme dan konsep gender berpotensi merusak posisi wanita, struktur keluarga, dan bahkan peradaban manusia secara keseluruhan.”
Penulis: Shabrina Khansa, Amrina Husna
[Ln]